Wonosobo, TAMBANG – Lantunan tembang Jawa yang dipadukan dengan cerita tentang pengkhianatan cinta legenda Kawah Sikidang, bertalun-talun memeriahkan pentas kesenian di atas panggung di salah satu sudut kampung Kawista, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo. Pertunjukan itu tampak unik, sebab tak menggunakan alat musik pada umumnya.
Ya, para seniman di kampung binaan perusahaan kontraktor tambang PT Pamapersada Nusantara itu, memakai alat musik tradisional khas Wonosobo, yaitu Bundengan. Mengingat bentuknya yang menyerupai tudung, Bundengan lazim digunakan oleh penggembala bebek untuk berlindung dari paparan matahari dan hujan.
Tudung yang dominan terbuat dari bahan bambu itu, bisa dimainkan dan mengeluarkan suara layaknya satu set alat musik gamelan yang terbuat dari logam. Bagi orang kebanyakan, membayangkan sebuah alat musik yang bernama-sama menjadi tutup kepala, dengan bunyi yang mirip alat musik logam, tentu menjadi proses imajinatif yang cukup menantang.
Alat musik Bundengan secara teknis berasal dari tudung yang telah dipasangi elemen-elemen tambahan berupa ijuk di masa awal, dan sekarang beralih menjadi senar sebagai dawai yang menimbulkan resonansi. Biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Lengger ataupun Tayub. Jumlah senar yang umum dipakai sebanyak empat buah, dengan tiga buah bilah bambu di sisi kiri bawah yang menyerupai bunyi kendang.
Tari Lengger dan Bundengan makin ke sini makin berkembang menjadi ikon Wonosobo, yang belakangan ini jadi satu rangkaian dalam semarak festival balon udara. Beberapa tahun terakhir, festival balon udara berhasil menyedot kunjungan wisatawan ke Wonosobo, yang diselenggarakan tiap momen mudik lebaran.
“Tari Lengger, Bundengan, dan festival balon udara merupakan budaya yang hingga kini eksis di tengah masyarakat Kawista,” kata CSR Head Department Pamapersada, Maidi Irvan saat dijumpai di Wonosobo dikutip, Senin (13/5).
Sejak dua tahun terakhir, sambungnya, Pamapersada melakukan serangkaian pembinaan di Kawista, salah satu kampung yang paling maju di Wonosobo. Pada pertunjukan festival balon udara April lalu, kampung Kawista turut melambungkan balon udara bergambar logo Pamapersada, sebagai bentuk apresiasi atas dukungan yang diberikan.
Pamapersada memberikan pendampingan pada aspek sosial budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi di kampung Kawista. Rangkaian program tersebut dikawinkan dengan agenda pemerintah, yaitu Program Kampung Iklim (Proklim) dan sekolah Adiwiyata.
Mesin Cuan Kampung Berkelanjutan
Suasana khas pedesaan yang teduh, langsung terasa saat memasuki kampung Kawista. Tepat di sebelah gapura kampung, ada kali dengan air mengalir setinggi betis. Di sana, seorang kakek paruh baya tengah memandikan kerbaunya, selepas membajak di sawah.
Sebagian besar penduduk Kawista, mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian. Sekitar 60 persen wilayah kampung adalah persawahan. Tapi pada saat yang sama, kampung Kawista juga jamak dikenal sebagai daerah penghasil ikan.
Melihat potensi itu, Pamapersada mengarahkan masyarakat untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada, dengan menerapkan sistem pertanian mina padi atau tumpangsari. Mina padi adalah penggabungan budi daya padi dan budi daya ikan secara bersamaan di lahan sawah. Melalui mina padi, produktivitas sawah diyakini akan meningkatkan.
“Sekitar seribu meter persegi akan dikembangkan sebagai mina padi. Jenis yang akan dikembangkan padi dan ikan nila,” ungkap Maidi Irvan.
Ikan diyakini dapat membantu menjadi pengendali hama dengan memakan binatang kecil dan gulma, sehingga mengurangi pemakaian insektisida. Kemudian, kotoran ikan bisa menjadi pupuk organik bagi tanaman padi, dan ikan mampu memperbaiki struktur tanah karena keluar masuk ke lumpur.
Keterampilan budi daya ikan dimiliki oleh sebagian warga Kawista, yang sudah memiliki kolam-kolam ikan. Berkat Pamapersada juga, masyarakat dibina untuk mencoba budi daya ikan dalam ember, yang di atasnya ditanami sayuran. Sejauh ini, setidaknya ada puluhan ember yang tersebar di rumah-rumah warga, isinya ikan lele dan kangkung.
Agroforestri Untuk Lebih Lestari
Tak jauh dari lokasi perikanan, terdapat lahan seluas lima hektare, yang digunakan sebagai agrforestri, konsep pemanfaatan lahan melalui fusi antara agrikultur dengan kehutanan. Yang paling jelas sekilas, pohon-pohon salak terlihat berjejer-jejer agak renggang. Namun jika diperhatikan, di sela-sela pohon, tumbuh berbagai tanaman lain, mulai dari singkong, salak, kelapa, bambu, durian, kawista, talas, nangka, dan pohon albasia serta mahoni.
Agroforestri memiliki ciri khas berupa sifatnya yang heterokultur, memadukan penanaman pohon kayu-kayuan dengan tanaman komoditas jangka pendek seperti buah, kacang-kacangan, sayuran, atau bahkan tanaman obat.
Dengan perpaduan lahan sebagai hutan dan sekaligus ladang, agroforestri dinilai lebih ramah lingkungan. Hutan yang dipertahankan mampu menjaga ekosistem lahan, merawat sumber air dan kualitas tanah, serta menyerap karbon yang menjadi salah satu masalah utama perubahan iklim.
Berkat berbagai terobosan itu, Kawista diganjar penghargaan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (LHK), menyabet predikat utama pada Program Kampung Iklim (Proklim). Kawista dianggap berhasil menerapkan skema ketahanan pangan lewat agroforestri, kebun sayur di rumah-rumah, perikanan, mengolah sampah, dan mengatasi masalah sanitasi.
Agenda Proklim diimplementasikan oleh LHK sejak tahun 2017 silam sebagai respon atas kondisi perubahan iklim global. Pada tataran lokal, menurut Kepala Dinas LHK Kabupaten Wonosobo, Endang Lisdiyaningsih, pada tahun 2019, Kabupaten Wonosobo mencatatkan emisi gas rumah kaca mencapai sekitar 70 ribu ton karbon. Sehingga, urgensi pelestarian lingkungan semakin tinggi dan perlu diperhatikan.
“Dampak pemanasan global yang begitu terasa hendaknya meningkatkan kesadaran kita bersama dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengembangan kampung Proklim merupakan sebagai bentuk kepedulian kita bersama,” bebernya saat dijumpai di Kawista, Selasa (7/5).
Pemkab Wonosobo berkolaborasi dengan Pamapersada untuk meningkatkan pengembangan Kawista. Pada tahun 2026 mendatang, Kawista ditargetkan bakal menyabet kategori lestari dalam Proklim. Di mana kategori lestari merupakan agregat tertinggi, yang di bawahnya secara berjenjang ada kategori utama, madya, dan pratama.
“Kita akan kolaborasi di Kawista bisa ditingkatkan, bagaimana menjadi Proklim lestari yang terjadwal di 2026. Untuk penyiapan tersebut saya yakin dari Pamapersada Nusantara yang mendampingi, tidak kaleng-kaleng,” tegas Endang.