Jakarta, TAMBANG – Melihat perkembangan kondisi nasional, Centre for Indonesian Resources Strategis Studies (CIRUS) menyebutkan, diperlukan satu terobosan dalam penguatan nilau tukar rupiah.
Selain itu, pemerintah memerlukan produk pertambangan untuk mendukung pembangunan infrastruktur sebagai program andalan kabinet kerja Presiden Joko Widodo.
Direktur CIRUS Budi Santoso menilai, kebijakan pengurangan impor dalam rangka penghematan devisa seharusnya dijadikan momen oleh Pemerintah untuk meningkatkan proses peningkatan nilai tambah produk pertambangan (hilirisasi). Ini menurutnya, akan menjadi subsitusi produk‐produk yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur.
Namun harus diakui, pengusaha nasional dalam rangka mendukung program peningkatan nilai tambah produk pertambangan mengalami banyak kesulitan, antara lain adalah finansial, partnership, teknis dan non‐teknis. Ini yang menyebabkan target‐target yang pernah disampaikan tidak mudah dicapai. Bahkan telah terjadi beberapa perusahaan dibekukan sementara ijin ekspornya.
Oleh karenanya CIRUS dan Staf Ahli Komisi VII DPR mengusulkan beberapa hal. Pertama, pemerintah perlu mempertimbangan sektor mineral sebagai “emergency exit” dalam rangka untuk mendapatkan devisa dan menopang pertumbuhan ekonomi daerah‐daerah yang selama ini kegiatannya masih mengandalkan mineral sebagai kegiatan ekonomi. Sebagai contoh Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan dinamika lapangan yang dialami pengusaha mulai dari permodalan, partnership, non‐teknis dan perijinan. Dengan demikian syarat pencapaian harus mempertimbangkan kondisi dan kesulitan‐kesulitan yang dihadapi, tanpa mengorbankan niat dan kesungguhan pengusaha dalam membangun smelter.
“Jangan sampai pemerintah terkesan lebih berpihak kepada investor asing karena investor asing dengan kekuatan finansial dan dukungan permodalan dapat menguasai sumber daya mineral nasional. Sementara pengusaha nasional akan menjadi penonton dan memiliki nilai tawar yang rendah karena tidak memiliki kemampuan equity dalam pembangunan smelter,” tandas Budi.
Ketiga, banyak sumber daya yang marginal yang secara kuantitatif tidak mencukupi untuk membangun smelter secara mandiri yang dapat dimanfaatkan dalam jangka pendek. Sebut saja masalah pemanfaatan lahan perkebunan, pemukiman, industri dimana dalam jangka panjang, mineral sebagai asset negara, tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan secara ekonomis karena kompensasi lahan yang sudah mahal.
Sebagai contoh di Pulau Bintan banyak potensi Bauksit yang sekarang sudah menjadi pemukiman. Serta tidak mungkin dimanfaatkan lagi selamanya, karena lokasi pembebasan lebih mahal.
Keempat, pemerintah perlu meninjau kembali aturan terkait hilirisasi dengan melihat kondisi dunia usaha dan kesulitannya. Darinya diharapkan pengusaha nasional memiliki kemampuan dalam membangun pemurnian dan pengolahan produk tambang. Kemudian, tujuan nasional dalam rangka memanfaatkan mineral sebagai “daya ungkit dan daya saing” ekonomi nasional dapat tercapai.
Pada akhirnya, tujuan kesejahteraan dan kemakmuran nasional juga dapat diperoleh. Mengingat dampak ganda yang dihasilkan kegiatan pertambangan cukup besar, diantaranya pembangunan daerah, lapangan kerja, devisa dan pendapatan pemerintah.