Jakarta, TAMBANG, Sejak paruh kedua tahun 2018 harga batu bara dalam tren penurunan. Kondisi ini berlanjut sampai saat ini. Hal ini diyakini bakal berimbas pada kinerja perusahaan tambang batu bara di kuartal I-2019. Tidak terkecuali pada PT Indika Energi,Tbk (INDY).
Chief Executive Officer dan Direktur Keuangan PT Indika Energy,Tbk Aziz Armand memperkirakan nilai penjualan perseroan di tiga bulan awal tahun ini akan lebih rendah dari Kuartal I-2018. Meski jumlah produksi tidak jauh berbeda.
Penurunan tersebut karena harga jual rata-rata (avarage selling price/ASP) batu bara di kuartal I tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. “Kemungkinan kinerja penjualan kuartal I-2019 lebih rendah dibanding tahun lalu. Meski jumlah produksi kami tidak jauh berbeda dengan tahun lalu,” terang Aziz Armand di Jakarta, Senin (8/4/2018).
Aziz kemudian menjelaskan trend pasar batu bara dalam setahun terakhir. Menurutnya diawal tahun 2018 harga batu bara masih dalam tren menguat. Ini ditopang oleh permintaan yang masih menguat termasuk dari Cina. Di tempat lain produksi terganggu oleh cuaca buruk dimana curah hujan cukup tinggi.
Kenaikan harga yang cukup tinggi ini juga yang mendorong Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan harga khusus batu bara untuk listrik. Pengusaha juga diwajibkan memasok 25% dari kapasitas produksi ke pasar domestik khususnya listrik.
“Tahun lalu di kuartal I harga batu bara dalam tren menguat. Ini ditopang cuaca buruk yang mengganggu produksi dan persoalan di transportasi sehingga pasokan ke pasar berkurang dan harga naik,” jelas Aziz.
Kondisi ini kemudian terefleksi pada kinerja perseroan. Pendapatan dan juga laba bersih perusahaan naik. Meski menurut Aziz kenaikan tersebut terutama disumbang dari pendapatan Kideco Jaya Agung yang dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan Indika.
Hal ini terkait rampungnya proses akuisisi saham PT Kideco Jaya Agung. Indika berhasil mengakuisisi 45% saham Kideco sehingga total kepemilikan menjadi 91%. Sebelumnya Indika sudah menguasai saham Kideco sebesar 46%.
Namun kondisi mulai berubah ketika memasuki paruh kedua 2018. “Ketika suplai membaik sementara permintaan tidak banyak mengalami perubahan. Pasar mulai kelebihan pasokan. Harga batu bara mulai koreksi. Ini berlangsung sampai akhir 2018 dan terus berlanjut sampai sekarang,”terang Aziz.
Tetapi sebagai perusahaan tambang menurut Armand harusnya sudah siap dengan volatilitas harga. Dari pengamatannya selama ini, permintaan batu bara tidak banyak berubah. Jika mengalami kenaikan pun tidak besar hanya dikisaran 1 sampai 2%. Oleh karenanya yang dijaga harus pasokannya. Ketika pasokan berlebih harga akan mengalami koreksi.
Belum lagi beberapa kebijakan Cina yang juga akan berpengaruh pada pergerakan harga. “Cina di menjelang akhir tahun juga memutuskan untuk mengurangi impor,”terangnya.
Indika menurutnya sejak masuk ke bisnis batu bara pada 2004 sudah beberapa kali mengalami gonjang-ganjing harga. Diantaranya di tahun 2012-2013 sebagai periode yang sulit. “Kalau bisnis batu bara, banyak faktor yang tidak bisa di kontrol oleh pelaku industri,” terang Aziz.
Diversifikasi Usaha
Untuk meminimalisir volatilitas harga di sektor batu bara, Indika melakukan beberapa langkah. Diantaranya dengan efisiensi diberbagai lini. Perusahaan menyisir pos pembiayaan yang bisa dihemat. Kemudian mencari sektor lain untuk diverfisikasi usaha.
Mulanya masuk ke pembangkit listrik dengan berinvestasi di PLTU yakni PLTU Cirebon. “PLTU kalau sudah beroperasi relatif stabil. Setelah melewati proses yang cukup panjang baru diadakan financial close di akhir 2017,”terang Armand.
Kemudian dicari sektor lain lagi. Mulailah investasi di fuel storage dengan investasi sebesar US$108 juta. Pada April 2018 dilakukan penandatanganan kesempakatan. Kemudian financial closenya pada 31 Desmber 2018. Sekarang ini sedang dalam tahap konstruksi.
Tidak berhenti di situ. Indika lalu mencari sektor mana yang tidak berbeda total dengan bisnis inti di batu bara. Menurut Aziz kalau berbeda jauh bisnisnya bukan saja menjadi pertanyaan pemegang saham publik tetapi juga manajemen di internal Indika.
“Kami coba diversifikasi ke komoditas tambang lain yang kami lihat korelasi volatilitasnya dengan batu bara sedikit. Salah satunya adalah tambang emas dan kami masuk ke tambang Awak Mas di Sulawesi. Di tambang yang dimiliki oleh Nusanatara Resources Limited ini, Indika menguasai saham 19,9%,”terang Armand.
Porsi saham yang demikian selain karena ini merupakan bidang baru, juga terikat aturan di Bursa Australia. Jika kepemilikan lebih dari 20% maka harus dilakukan tender offer.
Diversifikasi menjadi salah satu cara untuk meminimalkan risiko harga dari batu bara.