TAMBANG, JAKARTA. MESKI harga minyak masih rendah, perusahaan minyak dari Saudi Arabia, Saudi Arabian Oil atau Saudi Aramco, telah menetapkan belanja modal hingga US$ 334 miliar, atau sekitar Rp 4.300 triliun, hingga 2025. Besarnya angka itu pertama kali diungkapkan Wakil Presiden Aramco, Abdulaziz al-Abdulkarim, dalam sebuah konperensi di Bahrain 26 September lalu. Namun media di Arab baru memuat berita itu kemarin.
Besarnya angka yang dibelanjakan itu menunjukkan Saudi Aramco masih percaya bahwa harga minyak akan membaik, dan tetap bisa dijadikan andalan. Kontraktor yang dipilih harus sudah terbukti memberi sumbangsih bagi perekonomian Saudi Arabia. ‘’Belanja yang cukup besar itu untuk membeli barang dan jasa proyek infrastrutur, pemboran, serta menjaga agar sumur yang ada tetap berproduksi,’’ kata Abdulaziz.
Pejabat senior Aramco itu juga mengatakan bahwa Aramco akan menggelontorkan uang untuk proyek energi non-konvensional, seperti gas serpih. Aramco akan membelanjakan 42% dari investasinya untuk pemboran minyak, dan 31% untuk fasilitas pengolahan serta fasilitas lain di darat. Saudi Arabia merupakan produsen minyak terbesar di OPEC, sekitar 10,2 juta barel per hari.
Bersama Amerika Serikat dan Rusia, Saudi Arabia menguasai hampir 40% produksi dunia. Saudi Aramco juga punya rencana untuk berekspansi ke Indonesia, dengan mendirikan kilang, yang rencananya di Tuban, Jawa Timur. Hingga kini kelanjutan rencana pendirian kilang itu masih belum jelas.
Minyak merupakan pemasok utama APBN Saudi Arabia. Oleh karena itu, ketika harga minyak ambruk, APBN Saudi Arabia juga ikut terpengaruh. Kini Saudi Arabia tengah memproses penerbitan surat utang untuk luar negeri, nilainya US$15 miliar. Ini pinjaman pertama Saudi Arabia dari luar negeri.