Beranda Tambang Today Bukan Negara Kaya Minyak, Tepat Indonesia Beralih ke EBT

Bukan Negara Kaya Minyak, Tepat Indonesia Beralih ke EBT

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar

Jakarta, TAMBANG – Pilihan Indonesia beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT), dengan target bauran EBT 23 persen melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN), menjadi tepat. Karena Indonesia ternyata, bukanlah negara yang kaya sumber daya alam minyak gas dan bumi (Migas).

 

“Kira-kira di sini siapa yang mengatakan Indonesia sebagai negara yang kaya akan minyak bumi?” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, dalam keterangan resmi ESDM, Minggu (28/5).

 

Ia menjelaskan, berdasarkan rekapitulasi data Kementerian ESDM, Indonesia hanya memiliki cadangan terbukti (proven reserved) untuk minyak bumi sekitar 3,2 sampai 3,3 miliar barel.

 

“Dibandingkan dengan cadangan minyak dunia, kita ini hanya 0,2 persen,” jelas Arcandra. Sementara, untuk cadangan gas terbukti 1,5 persen dari total cadangan dunia.

 

Melihat data tersebut, tak salah jika keputusan Indonesia untuk sementara waktu mencabut keanggotaan dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia/OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries). Keputusan ini diambil saat sidang OPEC ke- 171 di Wina, Austria pada 2016 silam.

 

Tentu, peralihan sumber energi EBT ini diyakini Arcandra Tahar sebagai solusi jitu menjawab tantangan global saat ini.

 

“Kalau cadangan minyak kita cuma sedikit, andalan kita apa sesudah ini? Itu yang dinamakan Energi Baru Terbarukan. Insya Allah gak habis kalau dipakai,” ujar Arcandra.

 

Arcandra mengakui potensi sumber daya energi EBT di Indonesia cukup besar dikembangkan. Panas bumi misalnya, Indonesia memiliki potensi sekitar 11 giga watt (GW). Sedangkan, potensi air bisa mencapai sekitar 75 GW.

 

Ditemui terpisah, Program Manager for Sustainable Energy Partnership IESR, Marlistya Citraningrum menilai saat ini Indonesia memang sudah harus beralih ke EBT.

 

“Salah satu risiko ekonomi bila kita tidak memprioritaskan renewable sekarang dan memilih pembangkit fosil skala besar adalah aset yang terbengkalai (stranded assets),” jelas Citra di Jakarta, pada Senin (21/5).

 

Risiko ini sangat mungkin muncul, karena pengembangan teknologi EBT akan semakin cepat sehingga mampu mereduksi biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan, menjadi jauh lebih mura.

 

“Teknologi EBT seperti solar rooftop dan baterai (penyimpanan) juga memiliki peluang untuk menjadi teknologi disruptif untuk pembangkit fosil,” ujar Citra.

 

Citra mengungkapkan, dengan usia operasional pembangkit fosil seperti PLTU yang mencapai 30 tahun, risiko ini akan menjadi kerugian di masa mendatang.

 

“Selain risiko stranded assets, juga berkaitan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK yang mensyaratkan pengurangan penggunaan energi fosil pada bauran energi nasional,” pungkas Citra.