Jakarta, TAMBANG – Chief Executive Officer PT Vale Indonesia, Febriany Eddy menyoroti kebijakan kenaikan tarif royalti nikel yang bakal diberlakukan Pemerintah. Menurutnya, terdapat disparitas yang signifikan antara tarif royalti untuk bijih nikel dan produk yang sudah diolah seperti nickel matte.
Berdasarkan kalkulasinya, kenaikan royalti untuk nickel matte bakal mencapai 200 persen. Sedangkan untuk bijih nikel, maksimal hingga 50 persen. Disparitas tersebut disayangkan mengingat nickel matte merupakan produk hilirisasi.
“Tarif royalti bijih nikel dibanding matte jauh lebih tinggi, 125 hingga 200 persen. Sedangkan (bijih) nikel 20 hingga 50 persen. Harusnya matte hasil hilirisasi tidak segitu,” ujar Febriany saat acara buka puasa bersama di Jakarta, dikutip Kamis (20/3).
Meskipun demikian, Febriany menegaskan bahwa pihaknya yakin Pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri dalam mengambil keputusan tersebut. Namun, ia berharap adanya ruang dialog antara pemangku kepentingan industri dengan pemerintah agar kebijakan ini dapat dikaji lebih lanjut.
“Kita yakin Pemerintah punya alasan kenapa ada kenaikan. Kita berharap ada ruang dialog untuk kita menyampaikan pandangan.
Dan bisa dibicarakan dalam ruangan itu,” lanjutnya.
Sebagai informasi, Vale memproduksi nikel dalam bentuk matte melalui proses pyrometalurgi alias peleburan bijih nikel laterit di Blok Sorowako. Pada tahun lalu, Vale berhasil memproduksi 71.311 metrik ton nickel matte.
Sebelumnya, Pemerintah telah memberikan sinyal bahwa aturan baru mengenai tarif royalti mineral dan batu bara akan diterbitkan sebelum Idulfitri atau paling lambat 31 Maret 2025. Kenaikan tarif ini akan mencakup komoditas batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan timah, seiring dengan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 dan PP Nomor 15 Tahun 2022.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkapkan bahwa draf revisi aturan tersebut telah berada di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan sedang dalam tahap finalisasi.
“Mungkin lah ya (terbit sebelum Lebaran),” ujar Tri dalam sebuah acara di Jakarta, Selasa (18/3).
Namun, wacana kenaikan tarif royalti ini menuai kekhawatiran di kalangan pelaku usaha pertambangan. Tri mengakui bahwa pihaknya menerima berbagai protes dari pengusaha, tetapi ia menilai bahwa sebagian besar keberatan yang disampaikan tidak disertai dengan data yang komprehensif.
“Kami masih menerima beberapa masukan, tapi masukanya itu enggak komprehensif. Artinya ‘kami akan rugi’, angka ruginya sebelah mana?,” ungkap Tri.
Menurutnya, sebelum mengajukan wacana kenaikan royalti, Pemerintah telah melakukan analisis mendalam terhadap laporan keuangan setidaknya 10 perusahaan di masing-masing sektor yang terdampak. Berdasarkan hasil kajian tersebut, Tri meyakini bahwa kenaikan tarif tidak akan menyebabkan kerugian signifikan bagi perusahaan.
“Kami dari pemerintah kan (memeriksa) laporan keuangan, kita exercise. Enggak satu atau dua perusahaan, minimal 10 untuk masing-masing klaster. Jadi, saya rasa almost finish lah untuk pembahasan royalti,” papar Tri.