TAMBANG, JAKARTA. DUA bulan lalu, OPEC mengejutkan pasar dengan berita bahwa organisasi negara-negara pengekspor minyak itu akan bersepakat untuk memotong produksi menjadi 32,5-33,0 juta barel, untuk mengurangi berlimpahnya pasokan, dan mengangkat harga minyak.
Dua bulan sudah, pertemuan informal itu berlalu. Hingga kini, kesepakatan resmi atas nama OPEC belum juga jelas kelanjutannya. Pertemuan maraton pada Senin lalu, yang diikuti para menteri perminyakan anggota OPEC, gagal membuahkan kesepakatan. Rabu pekan ini, pertemuan itu dilanjutkan.
Selama dua bulan para pejabat OPEC dan petinggi dari negara produsen minyak non-OPEC seperti Rusia, bertukar gagasan mengenai bagaimana meningkatkan harga minyak. Dari kekompakan yang ditunjukkan, serta kalimat-kalimat yang dikeluarkan para pejabat seusai pertemuan, mereka optimistis bahwa harga minyak akan terus meningkat.
Namun, kini kemungkinan tercapainya kesepakatan adalah 50-50. Amrita Sen, Kepala Analis Minyak paa Energy Aspects, dalam wawancara dengan Bloomberg, Senin lalu mengatakan, seandainya kesepakatan tidak tercapai, harga minyak akan terkoreksi tajam. Kegagalan mencapai kesepakatan akan langsung ditanggapi negatif oleh pasar, dengan turunnya harga. Kata Amrita, harga bisa mencapai US$20 per barel, seandainya kesepakatan gagal tercapai.
Saudi Arabia menghendaki harga minyak stabil di US$60 per barel. Namun, Saudi Arabia menghendaki, pemangkasan produksi minyak disangga bersama-sama, oleh seluruh anggota OPEC. Bagi Saudi Arabia, harga minyak yang tinggi merupakan hal penting. Akibat harga minyak rendah, Saudi Arabia harus menderita defisit di APBN, sehingga harus berhutang ke pasar uang internasional.
Namun, Iran dan Iraq, menolak ide Saudi. Mereka berpendapat, penurunan produksi ini cukup disangga Saudi, negara yang bertahun-tahun menikmati kekosongan pasar minyak yang ditinggalkan oleh Iran, selama negara mullah itu terkena sanksi.