JAKARTA-MELBOURNE, TAMBANG. PERUSAHAAN tambang raksasa dari Australia, BHP Billiton, tengah mempertimbangkan untuk melepas aset batu baranya di Indonesia. Padahal, BHP Billiton baru saja mulai pengapalan batu bara untuk keperluan industri baja, dari salah satu tambangnya, yang berukuran kecil. Tindakan itu dilakukan karena dua hal: ketidakpastian aturan di Indonesia, serta masa depan pasar batu bara yang suram.
Kantor berita Reuters hari ini mengabarkan, BHP memiliki 75% saham di tambang batu bara IndoMet Coal, sisanya dibeli Adaro pada 2010 dengan harga US$ 335 juta. Tambang IndoMet terletak di Kalimantan Tengah, terdiri atas tujuh konsesi, dengan kualitas batu bara kalori tinggi sehingga cocok untuk industri baja. Dari lima konsesi, didapat cadangan terbukti sekitar 1,27 miliar ton.
Setelah penjualan itu, industri batu bara seperti lesu darah. Analis bahkan menghitung, bila aset BHP yang tersisa dihargai US$ 200 juta, BHP cukup beruntung.
‘’Batu bara yang ada betul-betul berkualitas tinggi, cocok untuk metalurgi. Akan menjadi peluang luar biasa bagus bagi perusahaan Indonesia yang mempunyai koneksi bagus,’’ kata Peter O’Connor, analis pada Shaw & Partner, konsultan investasi terkemuka di Australia.
BHP merupakan eksportir terbesar batu bara untuk keperluan metalurgi di dunia. Kini BHP tengah mempertimbangkan berbagai pilihan langkah yang akan ditempuh untuk asetnya di Indonesia, IndoMet. Ia tak mau menjawab apakah BHP sudah dalam pembicaraan dengan calon pembeli potensial.
IndoMet mulai berproduksi tahun lalu, dari tambang di Haju, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Produksinya ditargetkan 1 juta ton setahun. Tambang Haju terletak di kawasan hutan, sehingga BHP mendapat tentangan keras dari aktivis lingkungan.
Foto : aktivis lingkungan menolak tambang Haju.
Sumber: news.com.au