JAKARTA—TAMBANG. HARI ini, kalau Anda membeli premium, harganya turun dibanding hari kemarin. Lumayan, turun Rp 900 per liter, dari semula Rp 8.500 menjadi Rp 7.600. Hebatnya lagi, dengan harga yang lebih rendah itu, pemerintah tidak perlu menyubsidi lagi.
Yang perlu disubsidi hanyalah harga solar, yang menurut pemerintah mendapat bantuan harga Rp 1.000 per liter. Alasannya, solar dipakai oleh kebanyakan angkutan umum kita.
Sayangnya sebagian besar angkutan kota di Jakarta bukan peminum bensin. Mikrolet yang banyak beredar di Jakarta dibuat dengan mobil Toyota Kijang, Suzuki APV, atau Daihatsu Grandmax, yang kebanyakan menggunakan mesin bensin. Niat para pemakai angkutan kota untuk mendapatkan penurunan harga, tampaknya tidak akan terwujud.
Menurunkan harga BBM karena berdasar hitungan ekonomi adalah hal yang harus dihargai. Kita harus menghormati terhadap keberanian Presiden Jokowi-Wapres JK, dan jajarannya di Kabinet Kerja, yang berani mengambil langkah tidak populer.
Di masa lalu, pernah terjadi harga BBM diturunkan, tetapi lebih karena perhitungan sosial, atau perhitungan politik. Menurunkan harga BBM menjelang pemilihan umum memang jurus ampuh untuk berkampanye bagi partai pemerintah.
Kali ini, harga turun. Namun itu bukan karena pemerintah berniat menurunkan harga, melainkan karena harga minyak di pasar internasional sedang turun. Minyak jenis WTI dan Brent, yang Agustus lalu masih di atas US$ 100 per barel, hari ini di kisaran US$ 55. Harga keranjang minyak OPEC, Senin lalu, ada di US$ 54,4. Akhir September lalu, ada di US$ 94,44. Keranjang minyak OPEC merupakan kumpulan 12 jenis minyak di dunia, yang aktif diperdagangkan, mewakili 12 negara anggota OPEC.
Pemerintah menggunakan patokan indeks harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 60, dan kurs Rp 12.380/dolar, sehingga ketemu harga premium Rp 7.600 per liter.
Minyak, sebagaimana nikel, bauksit, batu bara, dan komoditi lainnya, harganya seperti bandul jam. Hari ini ada di kiri, lain kali pasti naik. Tetapi secara umum, sebagai energi tak terbarukan, harga minyak cenderung naik. Sebagai contoh, pada tahun 1970an, harga minyak di kisaran US$ 10 per barel. Pada 1980an, harganya di atas US$ 30. Tahun lalu, tatkala kita ribut dengan subsidi, harga minyak mencapai US$ 150 per barel. Saat Jokowi-JK dilantik sebagai presiden, pada 20 Oktober 2014, harga keranjang minyak OPEC masih di US$ 82,37.
Oleh karena itu, bila hari ini, 1 Januari 2015 harga premium di bawah harga sebelumnya, sebaiknya disambut dengan biasa-biasa saja. Ini bukan karena Jokowi-JK atau Sudirman Said ingin memberi hadiah tahun baru. Ini karena harga internasional memang sedang turun.
Kita pun juga harus bersiap, bila bulan depan ternyata harga minyak internasional naik kembali. Di sini pemerintah mempunyai kewajiban, agar harga BBM selalu terjangkau bagi warganya.
Foto: SPBU Pertamina. Sumber: kontraktormigas.com