Beranda Batubara Batu Bara Amerika Turun, Produksi Indonesia Punya Peran

Batu Bara Amerika Turun, Produksi Indonesia Punya Peran

 

JAKARTA, TAMBANG. INDUSTRI tambang batu bara harus mengarungi suasana yang sulit: mendapat gempuran dari berbagai penjuru. Industri tambang batu bara Amerika Serikat mendapat lawan tangguh, dari turunnya harga gas alam, regulasi yang makin ketat, serta keringanan yang makin dinikmati energi terbarukan.

 

Ada masalah lain: industri batu bara Australia dan Indonesia menjadi pendesak serius bagi Amerika. Kedua negara itu diuntungkan dengan peraturan yang lebih longgar. Kuatnya mata uang dolar membuat harga batu bara dari dua negara itu relatif lebih murah ketimbang produksi Amerika.

 

Aturan ‘’Rencana Energi Bersih’’ yang berlaku di Amerika sejak Agustus 2015 mewajibkan pengurangan CO2 sebanyak 28% pada 2025, dan 32% pada 2030, dari tingkat emisi CO2 pada 2005. Ini sedikit lebih ringan ketimbang yang disyaratkan Badan Perlindungan Lingkunan Amerika Serikat (EPA), yang mematok angka pengurangan 29% pada 2025 dan 30% pada 2030.

 

Beberapa perusahaan tambang batu bara gagal menghadapi runtuhnya harga dan berkurangnya permintaan, sehingga terpaksa bangkrut. Terakhir yang masuk dalam deretan daftar bangkrut adalah Patriot Coal, Alpha Natural Resources, dan Walter Energy. Mereka sudah melakukan berbagai upaya, tetapi harus menerima kenyataan bahwa harga batu bara sudah jatuh, dan permintaan berkurang.

 

Publlikasi dari perusahaan energi Peabody Energy menunjukkan bahwa permintaan batu bara untuk keperluan listrik di Amerika akan berkurang 40-60 juta ton tahun ini, karena ada beberapa pembangkit berbahan bakar batu bara yang tutup dan rendahnya harga gas alam. Berkurangnya permintaan plus pemanfaatan stok yang menumpuk, membuat pada 2016 ini pengapalan batu bara Amerika akan berkurang 150-160 juta ton.

 

Berdasar data dari Badan Informasi Energi Amerika (EIA), produksi batu bara Amerika pada Januari 2016 adalah 59 juta ton, turun 7% dari produksi Desember 2015. Produksi pada Desember merupakan angka terendah roduksi bulanan sejak Juli 1983. Penurunan produksi diperkirakan terus berlanjut pada 2016, mencapai total 884 juta ton. Turun 6% dibanding 2015.