Jakarta-TAMBANG. Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mengeluhkan sikap Pemerintah yang belum juga memberikan insentif pada pelaku usaha tambang yang serius membangun smelter. Sekretaris Jenderal APB3I, Erry Sofyan dalam keterangan persnya mengatakan, seharusnya Pemerintah memenuhi janjinya untuk memberikan insentif berupa dispensasi ekspor seperti halnya yang diberikan pada pemegang Kontrak Karya.
“Dengan demikian perusahaan masih bisa mendapatkan cash flow guna mendukung tahapan pembangunan smelter itu. Adapun dari sisi jumlah cadangan yang ada sangatlah melimpah dengan potensi umur tambang lebih dari 100 tahun,” kata Erry di Jakarta (15/2)
Apabila pemerintah menyetujui pemberian insentif ekspor, kata Erry, pihaknya kini tengah menyusun rancangan persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan tambang agar dapat melakukan ekspor.
Ia menambahkan, bagi komoditas bauksit, kendala yang dihadapi adalah terbitnya Permen No 1/2014 yang dinilai tidak adil. Ia meyakini, jika mengacu pada kemandirian pembangunan ekonomi di sektor ini maka seharusnya Permen tersebut tidak menghambat potensi ekspor bauksit berupa bauksit olahan mengingat kadarnya cukup tinggi, setara dengan konsentrat Freeport.
Dalam Permen No.1/2014, Kementerian ESDM melarang penjualan ekspor mineral mentah nikel dan bauksit meskipun telah diolah. Pemerintah beralasan bauksit yang diolah belum memunuhi standar kadar yang diinginkan. Akibat penerapan aturan itu, potensi pendapatan negara yang hilang dari mineral bauksit mencapai Rp 18 triliun/tahun.
Meskipun begitu saat ini sudah ada perusahaan bauksit yang tetap berusaha membangun smelter meskipun dalam keadaan yang sulit. Padahal pembangunan smelter itu juga tidak mendapatkan dukungan sarana infrastruktur. Salah satu yang paling bagus tingkat kemajuannya adalah smelter milik Grup Harita.
Perusahaan itu tengah membangun smelter alumina dengan total kapasitas produksi sebesar 4 juta ton alumina per tahun di bawah naungan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat termasuk membangun pembangkit listrik beserta pelabuhannya.
Erry yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Harita Prima Abadi Mineral mengatakan, untuk membangun smelter sebesar itu perusahaannya menghabiskan biaya hingga US$ 2,28 miliar.
“Apabila Pemerintah tidak bisa memberikan infrastruktur yang memadai, setidaknya Pemerintah bersedia memberikan insentif fiskal maupun non fiskal kepada mereka yang serius membangun.”
Erry menegaskan perlunya Pemerintah menggandeng pelaku usaha untuk mencari solusi dan alternatif lain sehingga proses hilirisasi dapat berjalan dengan baik. Antara lain yang bisa dilakukan adalah dengan cara segera mengukuhkan kebijakan di bidang mineral (Mineral Policy) dan roadmap hilirisasinya, sehingga menjadi panduan bagi pengelolaan mineral di dalam negeri.
Melalui mineral policy ini dapat ditentukan dengan jelas, mineral apa saja yang harus diolah dan dimurnikan didalam negeri serta mineral apa saja yang mungkin secara bertahap dilakukan proses lanjutannya.