Jakarta – TAMBANG. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyayangkan tidak konsistenannya pemerintah dalam penerapan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk Perjanjian Kontrak Penambangan Batu Bara (PKP2B) generasi III. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan sangkaan-sangkaan kepada pemerintah sehingga pihaknya meminta agar Menteri Keuangan melalui rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menerapkan restitusi pajak tersebut untuk PKP2B generasi III.
Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dianggap tidak menerapkan secara sama aturan restitusi PPN kepada PKP2B. “Hal ini akan membuat iklim investasi terutama dari Pemilik Modal Asing (PMA) akan melihat negatif ke Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif APBI Supriatna Suhala di Jakarta rabu (23/3).
PKP2B yang merupakan PMA tersebut tidak bisa mengerti akan perbedaan yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, satu induk punya dua PT yang bergerak dalam bidang yang sama, tapi ada PT yang bisa mendapatkan restitusi pajak ada yang tidak.
“Orang asing merasa perlakuan yang tidak adil sangat sensitif. Bukan masalah uangnya, tapi kenapa kontrak yang sama mendapat perlakuan yang berbeda,” ujarnya lagi.
Supriatna menuturkan, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) memberlakukan aturan yang berbeda mengenai restitusi ini. Ada yang menyetujui restitusi PPN jika ada kelebihan bayar, tapi ada yang menganggap pemberlakuannya harus melalui pengadilan pajak.
Sebagai informasi, sesuai kontrak dalam PKP2B generasi III, perusahaan berstatus pengusaha kena pajak (PKP) karena batu bara masuk dalam kategori barang kena pajak (BKP). Sehingga perusahaan batu bara wajib membayar pajak termasuk PPN dan berhak atas restitusi pajak jika ada kelebihan bayar.
Syarat restitusi pajak sendiri dikatakan Supriatna adalah pajak masukan terkait pajak keluaran, artinya yang barangnya kena pajak.
Masalahnya, DJP memiliki pendapat lain dengan Undang-undang PPN 2009 yang menyebutkan batu bara bukan termasuk dalam BKP dikarenakan batu bara merupakan produk yang diambil dari sumbernya.
Namun Supriatna mengatakan bahwa kontraktor PKP2B generasi III berlaku lex specialist. Hal itu berarti PKP2B generasi III tidak terkena aturan UU PPN 2009 yang berlaku pada kontrak yang ditandatangani pada periode 1997-2000.
Dalam PKP2B generasi III ada 55 kontraktor tambang, 37 di antaranya berstatus operasi produksi dan sisanya masih pada tahap praproduksi/eksplorasi. Perusahaan PKP2B generasi III dikenakan dana hasil penjualan batubara yaitu royalti dan dana pengembangan batubara sebesar 13,5% dan pajak penghasilan 30%.
David Hamzah Damian dari Danny Darussalam Tax Center di tempat yang sama menuturkan bahwa selama ini saat membela kliennya, majelis hakim diyakinkan bahwa batubara tidak masuk barang hasil pertambangan. Sehingga batubara yang telah ditingkatkan mutu produksinya termasuk Barang Kena Pajak (BKP).
Dijelaskan David, sesuai dengan pasal 1 angka 31 PKP2B; produk berarti semua batubara dan batubara yang mutunya telah ditingkatkan, yang diperoleh sebagai hasil penambangan atau pencucian/pengolahan setelah dikurangi jumlah yang hilang, dibuang, yang rusak atau yang dipakai dalam penelitian, pengujian, penambangan, pencucian/pengolahan dan pengangkutan.
Kemudian dalam pasal 1 angka 38 disebutkan; pencucian/pengolahan berarti perlakuan terhadap batubara setelah ditambang untuk menghasilkan batubara yang dapat dipasarkan atau pengikatan mutu produksi batubara lebih lanjut, dan kata ‘cuci/olah’ mempunyai makna yang sama.