Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) meminta Pemerintah menjaga konsistensi penetapan produksi batu bara nasional. Hal tersebut disampaikan lantaran di paruh kedua tahun 2018, Pemerintah secara mendadak menambah kuota produksi untuk ekspor.
“Jadi kalau ekspor mau dipacu lagi, kejadian baru aja mengalami, (ingatan) kita masih segar ini sih. Jadi Pemerintah perlu berhati-hati untuk kalau memang akan meningkatkan produksi lagi dalam waktu dekat,” ungkap Hendra di Kantor APBI, Selasa (2/4).
Pada Agustus tahun lalu, Kementerian ESDM mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 1924 K/30/MEM/2018. Isinya, Pemerintah menambah kuota produksi batu bara hingga 100 juta ton, dari target awal 485 juta ton menjadi 585 juta ton. Tapi realisasinya, perusahaan tambang hanya mampu menggenjot produksi tambahan sekitar 21 juta ton.
Pengumuman tambahan tersebut, menurut Hendra, menjadi salah satu penyebab turunnya harga batu bara yang terjadi di paruh kedua 2018.
“Waktu naikin produksi bulan kemarin 100 juta langsung oktober, itu kan (harga) turun sekali,” papar Hendra.
Selain itu, APBI juga meminta pemerintah untuk tidak meningkatkan batas wajib pasok domestik (domestic market obligation/DMO). Pasalnya, pencanangan DMO sebesar 25 persen di tahun lalu, masih menyisakan permasalahan, di antaranya soal kemampuan serapan dari industri di dalam negeri.
Kekhawatiran adanya peningkatan batas DMO, muncul di kalangan pelaku usaha lantaran hinggi kini Pemerintah belum merilis Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM tentang DMO untuk tahun 2019.
“Kepmennya memang belum keluar, harusnya sih Kepmen awal 25 persen. Nah ini kan gak fair lagi kalau tiba-tiba di bulan Juni (2019) dinyatakan 28 (persen),” ulas Hendra.
Menurutnya, peningkatan batas wajib DMO, nantinya bakal mempengaruhi sentimen harga jual batu bara. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menjadi penyerap DMO terbesar, berpeluang menekan harga kepada pemasok batu bara hingga ke level paling rendah. Situasi ini tentu berpotensi dimanfaatkan juga oleh industri domestik swasta.
“Dengan ditetapkan 28 persen ini orang akan berlomba-lomba lagi ke domestik, akan berlomba lagi ke PLN. Dengan begini PLN bisa selektif. Sekarang pelaku domestik udah kayak buyers market, orang lagi berebut ke domestik jadi harga bisa memenpengaruhi kan,” pungkas Hendra.