Jakarta, TAMBANG – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyepakati penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Tujuannya, untuk menjadikan Indonesia sebagai leader dalam pajak emisi karbon.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana saat menghadiri webinar yang diselenggarakan asosiasi pertambangan batubara indonesia (APBI) dengan tema “Menelaah Legitimasi Demi Pengurangan Emisi,” Selasa, (19/10).
“Pemerintah Indonesia akan menerapkan pajak emisi karbon secara bertahap dari tahun 2021 sampai 2025. Presiden Jokowi ingin jadi leader dalam tax carbon ini minimal di Asean,” kata Rida.
Lebih lanjut Rida mengatakan, pengenaan tax carbon tersebut berlaku bagi perusahaan yang emisinya melebihi kapasitas yang sudah ditentukan dengan tarif Rp 30 per kilogram.
“Untuk perusahaan yang memiliki emisi lebih dari cap ketetapan, maka mereka akan dikenakan pajak. 30.000 per ton atau 30 rupiah per kilo. Pada tahun 2025 akan diberlakukan pajak karbon cap and tax untuk sektor lainnya,” ungkapnya.
Diketahui, penerapan pajak karbon dilakukan untuk mengatasi dan menekan laju pertumbuhan emisi karbon yang berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Nantinya, pajak karbon ini diberlakukan sesuai peta jalan pajak karbon dan atau peta jalan pasar karbon.
Pada kesempatan yang sama, Direktur utama PT Bukit Asam (PTBA), Suryo Eko Hadianto menyebut program cap and tax carbon sudah tepat dan pihaknya akan mendukung. Pria lulusan UGM ini mengatakan meski dirinya bergelut di sektor tambang batu bara, namun penerapan pajak karbon memang harus diikuti demi menekan emisinya.
“Prinsipnya kami siap menjalankan karbon tax itu dan malah kami mengharapkan dorongan carbon capture. Ini isunya pengurangan emisi bukan pelarangan PLTU atau penggunaan batu bara. Bukan memperhadapkan batu bara dan EBT tapi mengurangi emisi karbon,” kata suryo
Meski begitu, Suryo berharap ketentuan ini bisa disosialisasikan secara rinci, bertahap, dan jelas, terutama kepada para pelaku industri agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi perusahaan terkait.
“Dari sisi strategi ini kaitannya dengan timing dan bertahap. Kita harus lakukan negosiasi bilateral, regional harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tidak terganggu pajak karbon itu sendiri,” imbuhnya.
Hal yang sama diungkapkan CEO PT Adaro Power, Dharma Djojonegoro. Menurutnya, Adaro siap mendukung aturan pajak emisi karbon tersebut dengan catatan sistem dan aturan mainnya jelas serta transparan. Dia juga berharap tidak hanya emisi karbon saja yang dikenakan pajak, ke depan, energi baru terbarukan juga idealnya memberi insentif bagi penerimaan negara.
“Kami prinsipnya mendukung tapi masalah waktu. Pasar karbon itu memang harus ada tapi dengan sistem yang jelas. Jangan cuma pajak karbon tapi juga insentif dari EBT harus dilakukan,” jelasnya.