Jakarta, TAMBANG – Presiden Direktur PT Adaro Energy, Girabaldi Thohir mengungkapkan, Adaro belum memulai pengembangan batu bara dengan teknologi gasifikasi.
“Kita sudah pelajari soal CBM (Coal Bed Methane), kami lakukan studi banding ke Beijing, melihat secara khusus Research Center di Beijing. Selain untuk energi, (batu bara) bisa juga coal to liquid, coal to gas, coal to chemical. Kami yakin nilai tambah paling efektif dan efisien ialah membangun Power Plan,” kata Bos Adaro yang akrab disapa Boy Thohir itu, Senin (23/4).
Sekitar 3-5 tahun lalu, Adaro sudah pernah menjajaki kemungkinan untuk mengembangkan berbagai bentuk hilirisasi batu bara itu. Tapi, Boy menilai, pasar Indonesia belum memiliki nilai keekonomian di sektor gasifikasi. Menurutnya, untuk saat ini, hilirisasi yang paling sesuai dengan nilai keekonomian ialah memanfaatkan batu bara menjadi tenaga listrik.
“Harga batu bara yang terus fluktuasi (menyebabkan) kami fokus ke Power. Kami memahami nilai tambah yang sangat efektif (untuk) batu bara thermal itu membuat tenaga listrik. Itulah kenapa kita melakukan hilirisasi (dalam bentuk) power,” jelas Boy.
Seperti diketahui, Adaro sedang fokus membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalsel-1 di Tabalong. PLTU berkapasitas 2×100 ini direncanakan masuk ke tahap Commercial Operation Date (COD) di tahun 2019. Dikerjakan secara konsorsium dalam satu perusahaan bernama Tanjung Power Indonesia (TPI).
Selain itu, ada juga PLTU Mulut Tambang di Tanjung yang berkekuatan 2×30 MW.
“Waktu pertama saya datang di 2005, mengunjungi ibu kota Tabalong, Kota Tanjung. Kantor Bupati lampunya mati hidup, kemudian penduduk sekitar kekurangan listrik, anak-anak tidak belajar efektif karena memakai lampu templok. Sejak itu kami beritikad bangun PLTU di Kabupaten Tabalong. Kami bangun 2×30 MW, (lalu) ditingkatkan lagi TPI 2×100,” ungkap Boy.
Proyek kelistrikan ini ditambah lagi dengan pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah. Pembangkit yang digadang-gadang akan menjadi PLTU paling ramah lingkungan ini dicanangkan COD di tahun 2020. Ia memiliki emisi yang rendah karena menggunakan teknologi ultra-critical.
Lebih lanjut, Boy menerangkan, dari pada mengembangkan gasifikasi, menurutnya, lebih baik mengambil pasar cooking coal atau batu bara kokas. Sejauh ini, belum ada perusahaan batu bara yang fokus ke segmentasi kokas.
“Kita tahu bahwa memang di Indonesia khususnya Kalteng ditemukan satu cadangan cooking coal yang kelas dunia. Makanya kita masuk ke cooking coal. Dengan cooking coal kita jadi mengkhususkan diri,” jelas Boy.
Adaro menargetkan, tahun ini bisa memproduksi kokas hingga satu juta ton. Soal total cadangan, Adaro sudah mengantongi data, di Kalimantan Tengah (Kalteng), terkandung cadangan hingga 54 juta ton. Catat! ini baru di Kalteng, cadangan akan terus bertambah seiring eksplorasi yang terus berjalan.
Ketertarikan terhadap kokas, sambung Boy, bukan tanpa alasan. Dia yakin, dalam waktu dekat, Indonesia akan berubah menjadi negara industri yang memiliki kebutuhan tinggi terhadap batu bara kokas.
“Bahwa suatu saat nanti indonesia akan bertransformasi dari negara agraris ke negara maritim, (lalu) pasti akan menjadi negara industrialis. Kan kita butuh pabrik baja. Itu tidak akan jadi kalau tidak ada cooking coal,” tegas Boy.
Visi ini semakin nyata dengan melihat rencana pemerintah yang akan mewajibkan para ekportir menggunakan kapal nasional. Tentu, tumbuhnya pabrik kapal nasional harus ditopang oleh pesatnya pabrik baja. Dan pabrik baja memiliki kebutuhan yang tinggi terhadap batu bara kokas.
“Seiring dengan kemajuan dalam negeri, kalau sudah ada pabrik baja yang skala internasional. KS (Krakatau Steel) masih impor batu bara kokasnya (saat ini),” pungkas Boy.