Jakarta, TAMBANG – Baru-baru ini salah satu bank terbesar di Singapura, OCBC, menyatakan tidak akan terlibat dalam proyek smelter aluminium Adaro Minerals (ADMR) di Kalimantan Utara (Kaltara).
DBS dan Standard Chartered juga sebelumnya menyatakan hal serupa. Diketahui, penolakan pendanaan dari bank-bank tersebut dikarenakan pembangunan smelter aluminium itu akan disertai pembangunan PLTU batu-bara baru, seperti yang disampaikan pada presentasi Adaro beberapa waktu lalu.
Ketiga bank tersebut memiliki kebijakan iklim yang melarang mereka untuk memberi pinjaman ke PLTU batu-bara baru.
“Konsensus iklim sudah jelas bahwa bisnis batu-bara yang merusak ini harus ditinggalkan segera. Bank-bank menolak membiayai smelter Adaro karena terkait dengan pembangunan PLTU batu-bara baru, institusi keuangan sudah menyampaikan pesan yang sangat jelas.” Kata Campaigner Indonesians di Market Forces, Nabilla Gunawan dalam keterangannya yang diterima tambang.co.id, Senin (20/2).
Namun, salah satu bank Singapura, UOB, masih terlibat dalam pendanaan ke grup perusahaan Adaro. Tahun lalu, UOB terlibat dalam pinjaman sindikasi ke anak usaha Adaro Energy Indonesia, Saptaindra Sejati, sebesar USD350 juta.
Keputusan UOB tersebut mempertanyakan komitmen iklim UOB untuk tidak membiayai pembangunan PLTU batu-bara baru.
Kompetitor UOB, seperti DBS dan OCBC tidak mengambil bagian untuk melanjutkan pendanaan sindikasi ke Saptaindra Sejati. DBS tahun lalu mengatakan bahwa bank tersebut mengurangi eksposur mereka terhadap Adaro karena kebijakan iklim.
Meskipun pinjaman tersebut diperuntukkan ke anak usaha Adaro, beberapa aktivis iklim dan keuangan khawatir bahwa porsi dari pinjaman tersebut dapat dialihkan untuk mendukung PLTU batu-bara baru.
“Dana pinjaman yang diberikan oleh UOB dapat dialihkan ke perusahaan induk maupun anak perusahaan Adaro. Pinjaman ini akan melonggarkan kapital yang dapat digunakan oleh Adaro untuk membangun PLTU batu-bara baru yang sangat besar untuk smelter di Kaltara,” tambah Nabilla.
Koordinator Enter Nusantara, organisasi yang bergerak di bidang energi bersih dan adil, Azka Wafi menyebut pembakaran batu-bara merupakan sumber emisi terbesar secara global.
Kata dia, polusi PLTU batu-bara juga merupakan sumber polusi utama dan terbesar. Secara global, institusi keuangan ditekan oleh investor, kelompok aktivis lingkungan dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakhiri pendanaan ke sektor tersebut.
“Mengingat Indonesia mempunyai banyak potensi energi terbarukan, negara ini perlu transisi ke energi bersih, bukan energi kotor yang dari penambangannya merusak lingkungan hingga polusinya menyebabkan masalah pernapasan,” ujar Azka.
“Polusi PLTU batu-bara dapat memangkas life expectancy, batu-bara jelas membunuh kita secara perlahan. Indonesia butuh sumber energi yang dapat meminimalisir kerusakan lingkungan,” pungkas dia.