Jakarta, TAMBANG,- Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menilai ada kebutuhan mendesak dalam upaya perbaikan tata kelola sektor energi dan pertambangan Indonesia. Kinerja legislasi yang lebih baik menjadi kunci. Sayangnya kinerja legislasi di sektor energi dan pertambangan selama ini buruk.
Menurut Bisman berbagai masalah yang timbul di sektor energi dan pertambangan bermuara pada kebutuhan pengaturan baik legislasi maupun regulasi. Sebagai sektor yang penting bagi negara dan menguasai kehidupan orang banyak, tata kelola energi dan pertambangan perlu mendapatkan jaminan kepastian hukum. Pemerintah harus memberikan dasar pengaturan dalam undang-undang yang memadai.
“Kebutuhan akan adanya perangkat hukum yang dapat menjamin terpenuhinya iklim kepastian hukum perlu dibarengi dengan upaya serius DPR dan pemerintah dalam menghadirkan produk legislasi yang berkualitas. Upaya untuk menuju ke sana dapat dilihat lewat capaian realisasi program legislasi nasional (Prolegnas) di sektor energi pertambangan,” ujar Bisman di Jakarta, Selasa (3/12).
Pushep menurut Bisman telah melakukan kajian tentang realisasi Prolegnas sektor energi dan pertambangan. Dari kajian tersebut ditemukan fakta bahwa prolegnas jangka menengah tahun 2015-2019 terdapat 189 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tujuh diantaranya merupakan RUU sektor energi dan pertambangan.
“Dari prolegnas tersebut, sampai akhir jabatan DPR RI periode 2014-2019 yang berakhir pada 30 september 2019 yang lalu, tidak satupun RUU yang berhasil disahkan menjadi Undang-Undang,” lanjut Bisman.
Hal ini berarti DPR periode 2014-2019 mengulangi hal yang sama dengan DPR periode 2009-2014 yang tidak menghasilkan satupun produk legislasi sektor energi dan pertambangan. Padahal terdapat RUU Minerba dan RUU Migas yang tiap tahun masuk menjadi RUU prioritas tahunanan.
“Namun juga tidak bisa selesai menjadi Undang-Undang bahkan beberapa RUU sama sekali belum dilakukan penyusunan, artinya di sektor energi dan pertambang kinerja legislasi nol,” kata Bisman.
Bisman menambahkan ke depan DPR dan pemerintah perlu serius untuk menyelesaikan RUU di sektor energi dan pertambangan, khususnya RUU Minerba dan RUU Migas, serta RUU perubahan UU Energi yang cukup mendesak.
Namun demikian, Bisman memberikan peringatan bahwa pembahasan RUU tersebut harus sesuai prosedur yang benar, tidak boleh dilakukan secara instan karena akan melanggar konstitusi yang berpotensi produk UU nanti di judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, RUU di sektor energi dan pertambangan perlu diselaraskan dengan rencana pemerintah membuat pengaturan dalam bentuk omnibus law.
“Semangat pemerintah dalam omnibus law kita sambut baik, tetapi perlu ada kajian yang mendalam dan melibatkan partisipasi publik dalam penyusunannya,”ujar Bisman.
Khusus RUU Minerba dan RUU Migas menurut Bisman perlu disusun ulang dari awal. Isi dan konsepnya harus benar-benar menunjukkan orientasi kepentingan merah putih, yaitu sesuai dengan amanat konstutusi Pasal 33 UUD 1945 dan kepentingan nasional.
“RUU nantinya juga harus memberikan ruang dan keberpihakan khusus pada BUMN sebagai representasi negara dalam pengolahan sumber daya alam,” ungkapnya.
Sementara itu Perwakilan DPP Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Korwil Maluku Utara Ense Solapung menyebut salah satu masalah terkait regulasi di sektor pertambangan adalah tidak sinkronya antar Kementrian dan lembaga.
“Sebagai contoh di pertambangan nikel, kebijakan terkait pertambangan nikel dalam beberapa bulan terakhir berubah-ubah. Kementrian ESDM mengeluarkan aturan bahwa larangan ekspor bijih nikel akan berlaku awal tahun. Tiba-tiba BKPM mengumumkan larangan ekspornya dipercepat. Pengusaha mau ikut yang mana,”kata Ense Solapung.
Pengusaha nikel menurut Ense akan mendukung setiap kebijakan Pemerintah apa lagi untuk meningkatkan nilai tambah. Tetapi Pemerintah juga perlu membantu pelaku usaha untuk bisa berusaha dengan baik. Salah satunya dengan kepastian hukum. “Aturan jangan berubah-ubah karena investasi di sektor pertambangan dikenal padat modal dan berisiko tinggi. Perlu juga ada sinkronisasi antara Kementrian dan Lembaga sehingga kebijakannya tidak tumpang tindih dan saling bertentangan,”terang Ense yang juga Direktur Operasional PT. Adhita Nikel Indonesia.