Jakarta, TAMBANG – Pada tahun 2021 mendatang, Indonesia akan memiliki 6 pabrik pengolahan atau smelter yang memproduksi bahan baku baterai litium untuk kendaraan listrik. Lokasi pabrik tersebar di beberapa titik, meliputi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Banten, dan Maluku Utara.
Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Andri Budhiman menuturkan, pabrik tersebut akan memakai teknologi berjenis hidrometalurgi, yaitu peleburan tekanan tinggi dengan larutan asam atau high pressure acid leaching (HPAL).
Produk yang dihasilkan adalah bahan baku prekursor berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) dan mixed sulphide precipitate (MSP).
“HPAL itu enggak menakutkan seperti dulu, kayaknya HPAL itu mahal. Sekarang bisa dengan biaya modal rendah. Ini untuk bahan prekursor,” ujar Andri saat menghadiri diskusi publik bertajuk ‘Moratorium Ekspor Nikel dan Hilirisasi Mineral’, di Jakarta, Rabu (2/10).
Secara rinci, perusahaan yang akan membangun smelter prekursor itu di antaranya, PT QMB Bahodopi dan PT Huayue Bahodopi yang berlokasi di Morowali, Sulawesi Tengah. Masing-masing akan menggelontorkan investasi sebesar USD 1,2 miliar dan USD 998 juta.
Lalu PT Adhikara Cipta Mulia di Konawe Utara, dan PT Vale Indonesia di Pomalaa. Keduanya berada di Sulawesi Tenggara.
Kemudian PT Smelter Nikel Indonesia di Cilegon, Banten, dan terakhir, PT Halmahera Persada Lygend di Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Seluruhnya, diperkirakan bakal menyelesaiakan konstruksi smelter pada tahun 2021. Bila beroperasi, kebutuhan konsumsi bijih nikel ditaksir mencapai 27 juta ton per tahun.
“6 proyek ini butuh 27 juta ton nikel di dalam negeri untuk (bahan baku baterai) kendaraan listrik,” kata Andri.