Beranda Tambang Today 2016: Tahunnya Para Pembeli Minyak

2016: Tahunnya Para Pembeli Minyak

JAKARTA—TAMBANG. PASAR minyak dan gas yang berlimpah, serta pasokan komoditi ke pasaran yang melebihi kebutuhan, membuat harga terus turun. Dua importir utama di Asia, yakni Cina dan Jepang, diyakini akan banyak menangguk keuntungan. Akan tetapi, bila ini berlangsung lama, menurut Bank Dunia, akan menimbulkan tekanan bagi negara-negara pasar baru yang ekonominya tengah tumbuh.

 

Dalam laporannya pada 26 Januari lalu, Bank Dunia memangkas ramalannya terhadap harga minyak menjadi hanya US$ 37 per barel, turun dari proyeksi US$ 51 per  barel, yang dikeluarkan pada Oktober tahun lalu. Bank Dunia juga memangkas proyeksi harga terhadap 37 dari 46 komoditi.

 

Harga minyak anjlok 47% tahun lalu, dan dapat turun lagi sebesar 27% pada 2016, menyusul diakhirinya sanksi terhadap Iran. Meningkatnya efisiensi produksi, musim dingin yang tak begitu mencekam di belahan utara, serta melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara kekuatan ekonomi baru, turut mendorong melemahnya harga minyak.

 

Pada 20 Januari, harga minyak Amerika ambruk ke  bawah US$27 per barel. Inilah harga terendah semenjak Mei 2003. Ambruknya harga ini muncul setelah mencuatnya berita bahwa Amerika melepas sebagian cadangan minyaknya. Kabar ini makin menambah runyamnya pasar yang pasokannya sudah berlebih. Bandingkan dengan harga US$ 147 per barel, yang pernah dicapai minyak Amerika pada 2008. Ketika itu, permintaan minyak mentah dari Cina meningkat tajam. Cina saat ini mengonsumsi 12% pasokan minyak dunia, alias menjadi pasar kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

 

Memang ada berita bahwa Rusia dan OPEC bersepakat untuk mengurangi produksi, demi menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan. Harga minyak Brent sempat naik menyentuh US$ 33 per barel. Namun, analis masih ragu dalam jangka pendek harga minyak akan naik.

 

Credit Suisse memperkirakan harga minyak Brent rata-rata di bawah US$ 30 per barel, pada kuartal pertama 2016.  Setelah itu kemungkinan naik, hingga pada 2016 harganya rata-rata di kisaran US$ 36,25 per barel.

 

Laman The Diplomat mengutip pernyataan lembaga riset milik negara konsumen, International Energy Agency (IEA) yang memperingatkan bawa pasar minyak akan berlimpah setelah Iran meningkatkan produksinya, dan OPEC tetap di tingkat produksi sekarang. Diperkirakan terjadi kelebihan suplai 1,5 juta barel per hari pada semester pertama 2016.

Turunnya harga minyak berhubungan erat dengan pasar saham. Indeks Standard & Poor 500. Sebuah analisa menunjukkan bahwa terdapat korelasi sebesar 97% antara harga minyak Brent dengan indeks S&P. Harga minyak rendah dikhawatirkan menimbulkan deflasi, baik di negara maju maupun di negara ekonomi baru. Perekonomian Cina yang melambat dikhawatirkan akan memicu munculnya resesi global.

Bank Dunia masih melihat peluang terjadinya kenaikan harga minyak secara bertahap. Ini akan terjadi dengan sejumlah syarat: negara yang memproduksi minyak dengan biaya mahal  memangkas produksinya, serta terjadi perbaikan perekonomian, yang diharapkan akan bisa meningkatkan konsumsi minyak.