Jakarta, TAMBANG. SELURUH indeks harga komoditi oleh Bank Dunia menunjukkan harga turun, tahun ini. Penurunan harga itu disebabkan pasokan berlimpah masih terjadi. Di sisi lain, dari sisi permintaan, terjadi penurunan.
Menurut Bank Dunia, indeks harga bahan tambang non-energi diperkirakan bakal turun 3,7% pada 2016 ini, sebagai akibat melemahnya permintaan dan bertambahnya pasokan.
Harga barang pertanian diperkirakan berkurang 1,4%, penurunan terutama terjadi pada bahan pangan utama. ‘’Ini menunjukkan produksi dan stok yang cukup, di tengah kekhawatiran El Nino,’’ kata ekonom Bank Dunia, John Baffes, sebagaimana dikutip koran Inggris, the Guardian.
‘’Harga minyak dan komoditi yang rendah akan bersama kita untuk beberapa waktu,’’ kata John Baffes. ‘’Kemungkinan harga komoditi akan naik tipis dalam dua tahun kemudian. Namun risiko penurunan harga masih sangat mungkin terjadi,’’ kata Baffes.
Cina merupakan pasar utama komoditi di dunia. Pelemahan ekonomi Cina dengan gampang merembet ke mana-mana.
Pengaruh turunnya harga di pasar ekonomi baru bisa dilihat dari fakta berikut ini. Sejak 2010 hingga 2014, negara ekonomi baru yang tergabung dalam BRIC –Brazil, India, Rusia, dan Cina, mengonsumsi 20% lebih produksi gas dan minyak, serta 40% produksi batu bara dan gandum. Sementara kebutuhan komoditinya telah meningkat, mencapai 40% dari kebutuhan energi primer global, konsumsi makanan, dan lebih dari 50% konsumsi logam dunia.
Menurut Bank Dunia, harga komoditi telah jatuh lebih dari 40% sejak 2010. Sementara pertumbuhan di pasar ekonomi baru anggota BRIC itu melambat, dari 7,7% menjadi 3,3% pada periode yang sama.
Konsekuensi dari pelambatan di Cina dan pasar yang tumbuh lainnya sungguh menyakitkan. Pelambatan 1% di BRIC memangkas pertumbuhan ekonomi di negara ekonomi baru sebesar 0,8%, dan melambatkan pertumbuhan global 0,4%.
Media Pacific Money mencatat, yang menderita akibat lemahnya harga minyak adalah produsen utama dunia, termasuk Cina, India, Indonesia, Malaysia, dan pasar LNG Australia. Adapun yang menikmati untung adalah importir besar termasuk Cina, Jepang, dan India.
Namun, harga minyak yang rendah akan merepotkan Jepang dalam jangka panjang, karena produsen minyak, yang selama ini merupakan konsumen produk Jepang, bakal mengalami deflasi.
Raksasa energi dari Amerika Serikat, Exxon, baru saja memangkas prakiraannya atas pertumbuhan energi di Cina sebanyak 0,1%, menjadi 2,2% setahun hingga 2025. Exxon memperkirakan Cina, negara terbesar kedua perekonomiannya setelah Amerika Serikat, bakal kekurangan energi pada 2030. Exxon memperkirakan konsumsi energi dunia akan naik 25%, dari 2014 hingga 204, karena industrialisasi di Cina, India, dan negara ekonomi baru lainnya.