Jakarta, TAMBANG – Anggota Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mendorong Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menggenjot dan memperluas hilirisasi industri nikel.
“Kita minta kementerian perindustrian betul-betul menggenjot supaya proses hilirisasi itu berjalan dengan adanya industri turunan dan antara dan industri yang lain di bawahnya. Nah itu yang menurut kami sangat penting,” ujar Eddy dalam Indonesia Nickel Summit beberapa waktu lalu.
Eddy optimis dengan cadangan nikel yang melimpah, Indonesia bisa menjadi pemain utama supply chain baterai listrik global.
“Kita merupakan produsen di dunia dan memiliki potensi strategis untuk menjadi pemasok utama dalam suplai chain baterai di kemudian hari,” ungkapnya.
Kendati demikian, mantan bankir Antam dan Vale ini memberi sejumlah catatan untuk tata kelola pertambangan nikel yang masih harus diperbaiki. Salah satunya belum hadirnya aturan yang investor friendly.
“Salah satu faktor kenapa investor berpikir dua kali ke Indonesia, pertama, banyak maunya, sulit mengendelikan. Peraturannya tidak investor fridenly,” jelasnya.
Aspek selanjutnya yang menurut Eddy perlu dibenahi adalah koordinasi di antara stakeholder baik sesama kementerian maupun dengan lembaga penegakan hukum. Mengingat hampir di semua IUP masih terdapat penambangan ilegal yang harus segera ditertibkan.
“Saya kira agak kompleks, tidak benang kusut tapi saya kira membutuhkan koordinasi saja satu dan yang lainnya. Termasuk dengan penegakkan hukum, kita akan menggunakan pendekatannya itu holistik dan dilakukan secara koordinatif” paparnya.
“Ilegal minners itu harus dirangkul, berdayakan karena ujung-ujungya itu ekonomi,” tambah Eddy.
Masalah berikutnya adalah belum diterapkannya harga patokan mineral (HPM) pada seluruh kegiatan penjualan, selain itu lemahnya pengawasan di daerah. Kemudian kinerja surveyor yang tidak maksimal.
“Selain itu sering terjadi dispute hasil pengujian kualitas produk pertambangan antara surveyor yang digunakan penjual dan pembeli,” jelasnya.
Kata Eddy, hingga saat ini masih terdapat penggunaan surveyor pelaksana diluar surveyor yang telah ditunjuk oleh Pemerintah.
Eddy juga menyoroti kinerja smelter yang memperoleh bijih dari sumber yang tidak jelas (diduga berasal dari illegal mining-red). Selain itu, terdapat pembelian bijiholeh smelter di bawah HPP (harga pokok penjualan).
“Tidak termanfaatkannya bijih nikel kadar rendah secara maksimal, karena smelter eksisting lebih mencari nikel kadar tinggi,” ungkap Eddy.
Eddy lantas menyebutkan masalah lain yang tidak kalah penting yaitu soal persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang tidak sesuai antara produksi dengan cadangan yang tersedia.
Eddy pun menjelaskan bahwa Komisi VII DPR RI telah berkomitmen terhadap hilirisasi untuk peningkatan nilai tambah terhadap komoditas mineral logam seperti nikel tidak perlu diragukan lagi.
Menurut Eddy Komisi VII DPR RI telah menyelesaikan pembahasan UU No 3 Tahun 2020 yang merupakan UU inisiatif DPR, yang salah satu poin penting adalah mendorong hilirisasi dan memastikan agar seluruh pelaku usaha pertambangan melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian didalam negeri mulai 10 Juni 2023.