Beranda Tambang Today Vale Jajaki Teknologi Pengolah Nikel Untuk Baterai Litium

Vale Jajaki Teknologi Pengolah Nikel Untuk Baterai Litium

Karyawan PT Vale Indonesia menunjukkan hasil nikel kadar 78 persen yang siap di ekspor ke Jepang, di pabrik nikel Sorowako, Kamis (26/7)

Jakarta, TAMBANG – PT Vale Indonesia menjajaki penggunaan teknologi pengolah nikel laterit untuk bahan baku dasar baterai litium. Rekayasa secara definitif dilakukan untuk mempelajari teknologi tekanan tinggi dengan larutan asam, High Pressure Acid Leaching  (HPAL). Rancananya, pabrik berteknologi HPAL akan didirikan di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara.

 

“Proyek Pomalaa HPAL saat ini masih dalam tahap definitive engineering,” tutur Senior Manager Communication Vale, Suparam Bayu Aji kepada tambang.co.id, Jumat (25/1).

 

Untuk diketahui, teknologi HPAL akan perdana beroperasi di Indonesia, dimulai oleh PT QMB New Energy Materials. Perusahaan ini baru saja diresmikan. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut B Pandjaitan pada beberapa waktu lalu.

 

PT QMB New Energy Materials merupakan kerja sama antara Indonesia, China, dan Jepang. Pabrik itu berdiri di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, Sulawesi Tengah. Ada tiga investor yang terlibat, di antaranya GEM Co.,Ltd., Brunp Recycling Technology Co.,Ltd., Tsingshan, PT IMIP dan Hanwa.

 

Dengan menggunakan teknologi HPAL, New Energy akan memproduksi campuran endapan hidroksida atau mix hidroxide precipitate, disingkat MHP. Hal ini dikonfirmasi oleh CEO PT IMIP, Alexander Barus.

 

“Teknologi HPAL, produk MHP,” tutur Alexander Barus

 

MHP merupakan campuran nikel dan kobalt dalam senyawa hidroksida, yang masih bercampur. Kandungannya sekitar 40 persen nikel dan 5 persen kobalt.

 

Menurut Sekertaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, MHP masih membutuhkan proses pengolahan yang panjang, untuk mencapai tahap menjadi bahan baku baterai litium.

 

MHP selanjutnya diolah melalui industri yang lebih hilir lagi, yakni Refining Plant. Kemudian dihasilkan nikel hidroksida dan kobalt hidroksida secara terpisah melalui proses pemurnian. Bisa juga menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat.

 

“Industri baterai material biasanya lebih menyukai dalam bentuk senyawa sulfat untuk efektifitas dan efisiensi proses,” ungkap Meidy.

 

Dua jenis produk dalam bentuk sulfat ini, perlu ditambah mangan melalui proses Precursor Plant. Sehingga melahirkan bahan dasar utama prekursor, berupa NCA, paduan nikel-kobalt-alumina, atau NCM, nikel-kobalt-mangan.

 

Kemudian, prekursor itu dimasak lagi, menjadi material baterai lithium pada Battery Material Plant dengan menambahkan LiOH untuk NCA atau Li2CO3 untuk NCM. Hasil akhirnya adalah Li-NCA atau Li-NCA. Lithium ditambahkan dengan proporsi antara 9-11 persen.

 

“Inilah yang disebut Battery Material sebagai cikal bakal kutub positif baterai atau cathode active material,” papar Meidy.

 

Cathode active material kemudian dipadukan dengan grafit (kutub negatif), elektrolit, logam aluminium dan logam tembaga. Sesampainya di tahap ini, produk baru menjadi baterai litium.

 

“Jadi, kalau bicara road map pabrik baterai litium, tentu panjang, tetapi harus dimulai dari pabrik leaching yang baru saja diresmikan di Morowali itu, hingga nantinya menjadi baterai litium. Masih panjang memang untuk mewujudkan mimpi besar ini, tetapi semua harus melalui beberapa tahapan proses pada pabrik yang berbeda,” beber Meidy.