Jakarta, TAMBANG – Salah satu produsen nikel terbesar Indonesia PT Vale Indonesia,Tbk, yang memproduksi nikel matte ini mencatat rugi bersih namun berhasil membukukan EBITDA positif.
CEO dan Presiden Direktur Perseroan PT Vale Indonesia Tbk, Nico Kanter, mengatakan, setidaknya ada dua faktor yang membuat perseroan mencatat rugi bersih, yaitu produksi yang lebih rendah dan biaya konsumsi yang tinggi.
“Walaupun harga realisasi rata-rata nikel meningkat sebesar 10 persen di tahun 2017, biaya konsumsi meningkat secara signifikan,” kata Nico Kanter, dalam keterangan resminya, Selasa (27/2)
Biaya konsumsi yang meningkat itu adalah biaya bahan bakar dan batu bara yang naik masing-masing sebesar 36 persen dan 39 persen dalam basis biaya per unit. Ini merupakan item biaya terbesar PT Vale Indonesia,Tbk.
“Ditambah dengan harga nikel yang secara relatif masih tertekan, dan naiknya harga barang konsumsi, telah memberikan suatu tantangan yang unik bagi Perseroan di tahun 2017,”ungkap Nico.
Nico juga menggarisbawahi pentingnya untuk tetap fokus pada optimalisasi kapasitas produksi, meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya.
“Kami yakin harga nikel di tahun 2018 akan tetap berfluktuasi. Ada juga ketidakpastian di pasar nikel dunia mengenai apakah kuota ekspor bijih Indonesia akan menambah kuota atau hanya mengganti pasokan bijih yang berkurang dari Filipina ke China,”tandasnya.
Sampai semester pertama tahun 2017, Perseroan mengumumkan kerugian sebesar USD21,5juta. Ini terutama karena rendahnya harga nikel. Namun, dengan membaiknya harga nikel di kuartal III tahun 2017, Perseroan membukukan laba sebesar USD1,9 juta di kuartal tersebut. Trend ini berlanjut ke kuartal IV dimana laba perseroan dikuartal terakhir tahun 2017 tercatat sebesar USD4,4juta. Ini yang membuat kerugian Perseroan secara keseluruhan turun menjadi USD15,3 juta di tahun 2017.
Menariknya meski rugi, PT Vale tetap membukukan EBITDA positif sebesar USD111,6 juta di tahun 2017. PT Vale mencatat penjualan sebesar USD629,3 juta atau 8 peren di atas penjualan tahun 2016 sebesar USD584,1 juta. Sementara harga realisasi rata-rata untuk penjualan nikel matte sebesar USD8.106. Sementara di 2016 harga realisasi rata-rata sebesar USD7.396.
Sedangkan Beban pokok pendapatan Perseroan di tahun 2017 meningkat sebesar USD72,8 juta atau 13 persen dari USD550 juta menjadi USD622,8 juta. Hal ini terutama disebabkan peningkatan di biaya bahan bakar, batubara, karyawan dan bahan pembantu.
Khusus di kuartal IV beban pokoknya meningkat sebesar 13 persen dari triwulan sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar dan batubara.
Konsumsi HSFO per metrik ton nikel dalam matte yang diproduksi di tahun 2017 sedikit meningkat dibandingkan tahun 2016. Akan tetapi konsumsi batubara per metrik ton menurun disebabkan oleh masalah di pabrik batubara yang masih berlanjut hingga bulan Juli 2017. Meski demikian harga batu bara naik seiring menguatnya harga batu bara global.
Sedangkan konsumsi diesel per metrik ton di tahun 2017 menurun dibandingkan tahun 2016. Ini disebabkan lebih tingginya konsumsi di awal tahun 2016 untuk mengoperasikan pembangkit listrik berbasis bahan bakar yang diperlukan sebagai akibat dari turunnya permukaan air danau.
Belanja modal yang disediakan di tahun 2017 sekitar USD68,5 juta. Angka ini lebih besar dari tahun 2016 USD60,6 juta. Sebagian belanja modal ini dimanfaatkan untuk pemeliharaan operasional Perseroan.
Dari sisi operasional di tahun 2017, PT Vale memproduksi 76.807 metrik ton nikel dalam matte. Turun sekitar 1 persen dari produksi tahun 2016 sebesar 77.581 metrik ton. Meski demikian volume bijih yang telah diproses meningkat di tahun 2017. Produksi nikel menurun disebabkan oleh kadar yang lebih rendah.
“Perseroan akan tetap fokus pada berbagai inisiatif penghematan biaya untuk mempertahankan daya saing Perseroan tanpa mengkompromikan nilai utama Perseroan yakni keselamatan jiwa yang merupakan hal terpenting,” pungkas Nico.