Beranda Mineral Untuk Smelter Tembaga, Indonesia Perlu Berguru Ke Cina

Untuk Smelter Tembaga, Indonesia Perlu Berguru Ke Cina

Jakarta-TAMBANG.Hilirisasi atau kegiatan peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan mineral merupakan harga mati. Pemerintah terus mendorong agar perusahaan melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri sebelum diekspor untuk mendapatkan nilai tambah. Dari beberapa komoditi tambang, tembaga dan bauksit merupakan komoditi yang masih belum menunjukkan kemajuan dalam pembangunan smelter.

 

Terkait dengan hal itu, Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) Martiono Hadianto mengatakan bahwa agar smelter tembaga bisa berjalan, Indonesia perlu belajar dari Cina.

 

Mengapat harus belajar dari Cina, Martiono menyebutkan beberapa alasan. Pertama, Cina sudah sejak tahun 1994 mengembangkan teknologi smelter tembaga. “Bahkan pengembangan teknologi itu mereka klaim lebih baik, lebih efisien sehingga investasi lebih rendah. Bahkan bisa menekan biaya hingga 30-40% lebih rendah dibanding menggunakan teknologi barat,”ungkap Martiono yang ditemui Majalah TAMBANG pekan lalu.

 

Tidak hanya dari sisi teknologi yang sudah teruji, lebih efisiensi juga nilai investasinya lebih rendah. “Teknologi mereka pun sudah ramah lingkungan,”jelas Martiono.

 

Belum lagi Cina sekarang telah mempunyai kapasitas smelter tembaga 40% dari kapasitas dunia. Sehingga Cina yang menentukan berapa besarnya biaya mengolah dari konsentrat menjadi tembaga.

 

Selain itu, kemajuan pengembangan kegiatan pemurnian tembaga di Cina bisa berjalan karena dukungan penuh yang diberikan Pemerintah. Menurut Martiono Pemerintah Cina menyediakan infrastruktur mulai dari Jalan, air dan listrik. “Sehingga yang dibangun perusahaan hanya batteray limit atau unit pengolahan itu saja. Sedangkan unit penunjang disediakan pemerintah,”terang Martiono.

 

Kecuali itu untuk investor diberikan berbagai insentif seperti pajak dan pinjaman. Pemerintah Cina bisa menyediakan pinjaman bisa mencapai 70% dari kebutuhan investasi. Kemudian Equity-nya pun dibantu. “Pengusaha tidak hanya mendapat pinjaman jangka panjang tetapi juga pinjaman equity bahkan 60% dari kebutuhan equity bisa dalam bentuk pinjaman. Jadi investor hanya menyediakan sekitar 20%,”tandas Martiono.

 

Dengan segala kemudahan yang diberikan tersebut, smelter tembaga di Cina bertumbuh cepat dan menjadi ekonomi. Tidak heran jika kemudian negeri ini berhasil memproduksi 40% dari keseluruhan kapasitas smelter tembaga dunia.

 

Sementara sampai saat ini Indonesia baru memiliki dua smelter tembaga yang memproduksi copper cathode yakni PT Smelting, Gresik dan PT Batutua Tembaga Raya yang mengoperasi smelter dengan kapasitas 3.000 ton copper cathode per tahun di Pulau Wetar. Smelter ini beroperasi sejak April 2014 silam.

 

PT Freeport Indonesia saat ini sedang dalam proses membangun smelter tembaga yang baru. Lokasi yang dipilih masih di Gresik, Jawa Timur. Nilai investasinya sebesar US$2,3 miliar. Sampai sekarang kemajuannya baru mencapai 13,46% . (Wawancara lengkap Dengan Presdir PT NNT Martiono Hadianto akan ada di Majalah TAMBANG Edisi Cetak Bulan Agustus 2015).