Jakarta-TAMBANG. Dewan Internasional Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang berkedudukan di Oslo-Norwegia menetapkan Indonesia kembali menyandang status “EITI Compliant Country”. Status compliant EITI untuk Indonesia sebelumnya dicabut dan menjadi “suspended dikarenakan adanya keterlambatan dalam mengeluarkan laporan EITI periode 2012-2013.
Surat Keputusan tersebut disampaikan oleh Clare Short selaku Chair Dewan Internasional EITI pada tanggal 17 Desember 2015 kepada Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution selaku Ketua Dewan Pengarah EITI Indonesia. Status tersebut kembali diraih setelah diterbitkannya laporan ketiga EITI periode 2012 – 2013 pada tanggal 23 November 2015 lalu yang proses penyusunannya mengacu pada standar EITI terbaru.
Laporan EITI yang telah diterbitkan dalam beberapa periode tahun fiskal tersebut mentransparansikan informasi terkait penerimaan negara baik pajak maupun non pajak dari perusahaan migas dan tambang yang direkonsiliasi dengan instansi Pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, SKK Migas, Dirjen Pajak dan beberapa instansi lainnya.
Sesuai dengan standar terbaru, laporan ini juga dilengkapi oleh informasi kontekstual mengenai regulasi dan kebijakan, gambaran tata kelola industri ekstraktif, proses alokasi dan tender wilayah pertambangan migas dan minerba, manajemen penerimaan negara, serta tanggung jawab sosial perusahaan ekstraktif. Termasuk didalamnya terdapat informasi kontribusi ekonomi dari industri ekstraktif dan peran BUMN di sektor Migas dan Tambang. Laporan ini juga menyampaikan sejumlah temuan dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah terkait perbaikan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyampaikan, keberhasilan Indonesia mendapat kembali status “Negara Patuh EITI” merupakan kado akhir tahun yang memberi harapan positip di tengah maraknya isu mafia migas dan tambang serta praktek-praktek korupsi dan konflik kepentingan yang ditengarai mengincar sektor migas dan pertambangan. Ia mengingatkan bahwa pemerintah tidak boleh puas dengan diraihnya kembali status “EITI Compliant Country”.
“Status ini hanya bemakna apabila tujuan akhir EITI tercapai yaitu adanya perbaikan tata kelola sektor ekstraktif, khususnya migas dan tambang menjadi lebih transparan dan akuntabel untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan pers, Senin (21/12).
Aryanto Nugroho-Koordinator Advokasi PWYP, menambahkan status ini harus dijadikan pemicu bagi Pemerintah untuk lebih serius menindaklanjuti sejumlah temuan dan rekomendasi Laporan EITI,diantaranya : masih terdapat 10 perusahaan migas non operator dan 21 perusahaan minerba yang tidak patuh lapor ke EITI Indonesia; perbedaan hasil rekonsiliasi penerimaan pajak badan migas tahun 2012 sebesar 129,4 juta USD dan tahun 2013 sebesar 14,1 juta USD; perbedaan hasil rekonsiliasi penerimaan pajak badan minerba tahun 2012 sebesar Rp 290,1 milyar dan tahun 2013 sebesar Rp 53,4 milyar; serta aspek proses seperti sulit dan lambatnya dalam memperoleh data dan informasi; pembukaan data pajak; serta masih adanya kekeliruan pencatatan akun pada sektor minerba” imbuh Aryanto.
Sementara itu Fabby Tumiwa, anggota Dewan Internasional EITI (2013-2016) kembali mengingatkan bahwa laporan EITI perlu lenih ditingkatkan level transparansinya seperti pembukaan informasi koordinat wilayah pertambangan dan kadasterial, informasi peserta tender, informasi Beneficial Ownership serta Kontrak Migas dan Pertambangan.
“Padahal keterbukaan informasi-informasi tersebut sangat dibutuhkan terutama untuk mengantisipasi maraknya praktek-praktek Papa Minta Saham, Mafia Migas dan Tambang, Ribuan IUP berstatus non Clean and Clear, mandeknya proses Renegosiasi KK/PKP2B dan lainnya.” ungkap Fabby.
Prinsip prinsip EITI sebagai salah satu instrument tranparansi perlu didorong untuk masuk ke dalam perbaikan regulasi seperti Revisi UU Migas dan Revisi UU Minerba. Pelaksanaan EITI juga harus bersinergi dengan berbagai inisiatif lain yang sedang berjalan seperti Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (STRANAS PPK), Open Government Partnership (OGP), Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA) KPK, Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI), Minerba One Map Indonesia (MOMI) dan pengembangan Modul Penerimaan Negara (MPN)”.
“Dan yang paling penting adalah komitmen pejabat di level Kementerian dan Dirjen terutama di lingkungan Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan Kemendagri untuk terus mengawal pelaksanaan EITI di Indonesia. Tanpa adanya komitmen pejabat di level tersebut pelaksanaan EITI akan terhambat,” pungkas Fabby Tumiwa.