Beranda CSR Tionghoa, Tambang Emas dan Perang Kongsi

Tionghoa, Tambang Emas dan Perang Kongsi

Repro Majalah Tamabng edisi 104, Februari 2014

PADA pertengahan abad ke-18, orang Tionghoa mulai menetap di wilayah Kalimantan Barat. Daerah yang ditempati meliputi sebelah utara Pontianak, pesisir Sambas, hingga perbatasan Sarawak. Mereka berdatangan dengan cara swakarsa dan menggunakan jaringan orang Tionghoa yang sudah datang terlebih dahulu.

 

Hampir semua yang datang adalah calon buruh yang siap bekerja. Kerajaan Sambas turut serta mendatangkan para pekerja ini, untuk mengelola tambang emasnya. Sebelum kedatangan orang Tionghoa, tambang emas itu dikelola orang Melayu dan Dayak, namun penguasa lokal kurang puas dengan produktifitasnya. Para imigran juga perlu uang untuk membayar biaya perjalanannya.

 

Metode yang digunakan orang Tionghoa, dipercaya lebih efisien dibanding metode orang Melayu dan Dayak. Pekera Tionghoa mampu menghasilkan emas lebih banyak daripada penambangan yang tidak beraturan. Selain itu, orang lokal biasanya memilih pertambangan sebagai kerja sampingan.

 

Sejarawan Amerika Serikat (AS), Mary Somers Heidhues mencatat, Panembahan Mempawah adalah orang pertama yang menggunakan orang Tionghoa sebagai penambang, yakni tahun 1740-an. Mereka mendapat hak menambang di pinggir  Sungai Benuwang oleh Sultan Umar Akkamadin II, penguasa Kerajaan Sambas.

 

Imigran China memberi sumbangan besar pada peningkatan pendapatan kerajaan dari hasil tambang dan pembayaran pajak. Kerajaan memasok beras, garam dan candu dengan harga yang ditentukan dengan sifat mengikat sebagai timbal baliknya.

 

Kerajaan menentukan semua hasil dan nilai tukar, sehingga terlihat memonopoli hasil tambang. Orang Tionghoa juga diharuskan membayar pajak atas kedatangan mereka. Untuk menghindari kaburnya penambang Tionghoa, kerajaan menetapkan pajak yang lebih tinggi jika mereka ingin meninggalkan Borneo.

 

Dari beberapa suku Tionghoa yang mendominasi wilayah Kalimantan Barat, suku Hakka-lah yang paling banyak bekerja di bidang pertambangan. Pekerja tambang ini kebanyakan bujangan dan tinggal dalam asrama. Dari pertambangan pula sejarah perkongsian terbentuk. Kongsi ini dibentuk untuk menghadapi faktor luar.

 

Pemerintah Belanda sempat khawatir dengan keberadaan kongsi-kongsi tersebut. Semakin meningkatnya jumlah imigran dari China, jumlah kongsi yang terbentuk juga bertambah. Kongsi-kongsi yang muncul mulai membentuk sebuah federasi, terlihat seperti sebuah republik.

 

Ada tiga federasi besar di Borneo Barat  yang terkenal dalam sejarah yaitu Fosjoen di Monterado, Lanfang di Mandor dan Samtiaokioe. Kekuatan organisasi itu membuat penambang Tionghoa tidak lagi tunduk  pada para penguasa  Melayu. Mereka mulai membuat tambang-tambang baru dan mengusahakan tambang mereka sendiri, sehingga status mereka tidak lagi menjadi buruh Sultan.

 

Federasi kongsi mulai menggunakan emas sebagai ujung tombak ekspor. Federasi di Monterado, misalnya mempekerjakan  6.000 orang. Bayangkan, berapa yang dihasilkan bila masing-masing  pekerja setiap tahun mampu menghasilkan lebih dari satu pone mas.

 

Seorang kapten kapal asal Inggris bernama J. Burn menuturkan dalam catatannya, emas yang dikumpulkan di Borneo Barat, normalnya dalam bentuk serbuk emas dan dijual dalam timbangan dolar perak. Takaran kemurnian dibedakan berdasarkan tempat asal emas ditambang.

Serbuk emas itu dijual dengan harga 23 sampai 25 dolar perak per satu bungkal. Berat satu bungkal kira-kira sama dengan dua keping uang dolar perak. Bila menumbang di hulu sungai, harganya turun menjadi 16 dolar perak per satu bungkal.

 

Maraknya kegiatan pertambangan membuat kandungan emas semakin terkuras. Penambang Tionghoa akhirnya mencari  wilayah baru untuk memperluas wilayah pertambangan. Perluasan lahan ini mengakibtkan ketegangan dengan kongsi lainnya, atau dengan orang Dayak  dan Melayu.

 

Konflik yang terjadi itu, bukan hanya antara orang Tionghoa dengan kelompok lain  atau pada garis etnis. Dalam situasi tertentu, terkadang kelompok Melayu dan Dayak dapat menjadi sekutu, namun di situasi lain mereka dengan cepat menjadi musuh bagi Tionghoa.

 

Konflik yang terjadi pada masa itu, lebih bersifat internal. Seperti yang terjadi pada tahun 1770, ketika Tionghoa dan Dayak saling berseteru. Terbentuknya  federasi-federasi berpengaruh pada keberlanjutan kongsi-kongsi kecil dan lemah. Kongsi-kongsi seperti meminta bantuan secara terpaksa pada kongsi yang mereka anggap lebih kuat.

 

Periode Ke-2 abad 18, memang menjadi waku perkembangan kongsi Tionghoa di Borneo Barat. (Sumber: Majalah TAMBANG edisi 104 Februari 2014)