Jakarta,TAMBANG,- Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin berkesempatan hadir dalam Temu Profesi Tahunan (TPT) Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ke-13 di Kendari,Sulawesi Tenggara. Di kesempatan itu, Ridwan menyampaikan beberapa hal terkait industri pertambangan dan transisi energi.
“Akhir-akhir ini kita bersyukur bahwa industri pertambangan menjadi tulang punggung negara ketika dalam menghadapi situasi sulit secara khusus ketika pandemi covid-19. Namun di sisi lain, Industri ini juga mendapat tekanan global untuk melakukan transisi energi dari yang berbasis fosil seperti batu bara ke energi baru dan terbarukan,”ungkap Ridwan membuka sambutannya, Rabu (26/10).
Meski demikian menurut Ridwan kepentingan nasional harus menjadi yang utama. Apalagi ketika berbicara tentang sektor energi yang terkait dengan kepentingan banyak orang. “Dalam hal transisi energi ini, mari kita melihat yang pertama kepentingan nasional harus nomor satu namun kita tetap menjadi bagian dari komunitas global yang mengusahakan agar emisi karbon seminimal mungkin,”kata Ridwan.
Aktivitas penurunan emisi karbon ini tentu terkait erat dengan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi. Dalam beberapa tahun ini, tekanan terhadap pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi cukup kuat. Termasuk dorongan untuk mempensiunkan PLTU. Namun menurut Ridwan hal ini tidak berarti kita tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Batu bara tetap masih bisa dimanfaatkan. “Tetapi mari kita manfaatkan batu bara yang dimiliki ini dengan cara yang lebih baik, lebih bersih dan lebih produktif. Karena dari sisi ketersediaan, kemampuan menyediakan energi, batu bara masih merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kita termasuk bagi industri yang lain,”terangnya.
Oleh karenanya menurutnya Indonesia tetap berupaya selain mengikuti arus global untuk mengurangi emisi karbon, namun tetap mempertahankan ketahanan energi nasional dan daya saing industri secara khusus dari sisi biaya energi.
Masih terkait dengan transisi energi, Ridwan juga menyebutkan salah satu tantangan yang dihadapi saat ini terkait dengan ketersediaan teknologi. Menurutnya untuk Angota PERHAPI yang bekerja di hulu, perlu mendekatkan diri dengan yang bergerak di hilir. Untuk hal ini, salah satunya terkait dengan ketersediaan teknologi yang ujungnya akan berkaitan dengan keekonomian dari sebuah kegiatan hilirisasi. “Teknologi untuk pengolahan dan pemurnian produk tambang sebagian besar masih impor sehingga ketergantungan itu membuat kita berhitung kembali terkait keekonomian,”katanya.
Ridwan juga menyebutkan bahwa ketika berbicara tentang transisi energi maka ada beberapa mineral yang punya keterkaitan erat dengan hal tersebut. “Mineral-mineral ini bahkan sebelumnya tidak banyak diperhatikan seperti nikel, scandium, kobalt, lithium yang kini telah menarik perhatian besar. Sehingga arah kita ke sana harus lebih diperkuat. Ini terkait dengan bagaimana mencarinya, bagaimana mengusahakannya dan bagaimana memanfaatkannya,”ungkapnya lagi.
Ia juga menyebutkan soal potensi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga nuklir. Menurutnya seiring dengan sumber tenaga nuklir yang eranya mulai beralih ke thorium sehingga seharunya lebih optimis dilaksanakan di Indonesia. Negara ini punya thorium dalam jumlah banyak dan lebih aman dibanding kalau menggunakan uranium. Thorium tidak bisa dijadikan senjata. Namun kata Ridwan selama ini yang menghambat pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir adalah stigma berbahaya dari pemafaatan pembangkit listrik tenaga nuklir seperti ancaman radiasi.
Menurut Ridwan PERHAPI dan stakeholder di Industri pertambangan perlu bersama-sama mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan dari sisi yang bisa dilaksanakan. “Dengan kata lain transisi energi yang bisa kita lakukan,”terangnya.
Dirjen yang juga menjadi Pj Bupati Bangka Belitung juga mengakui bahwa ada nuansa lain ketika hendak melakukan transisi ke arah yang bisa dilakukan. Bahkan menurutnya tekanan itu semakin kuat. “Bicara biomassa misalnya, kita pun ditolak oleh sekelompok orang, padahal biomasa itu termasuk dalam yang kita bisa,”katanya. Di Bangka Belitung misalnya biomassa merupakan energi baru terbarukan yang digunakan sehingga bauran energi di daerah ini cukup tinggi sekitar 17,2%. Lalu yang terlihat adalah tekanan itu selalu diarahkan agar Indonesia mengimpor padahal untuk EBT, negara ini punya potensi yang luar biasa.
“Sehingga yang dilakukan adalah menghindar dari tekanan tersebut dengan mengusahakan yang bisa dilakukan,”tambahnya.
Ia juga mencontohkan bahwa saat ini cukup banyak investor yang ingin berinvestasi di pasir silika, kuarsa. Oleh pemerintah diarahkan agar industri yang mengolah pasir silika diarahkan ke produk untuk panel surya. “Tekanan selalu kita terima namun mari kita hadapi dengan cara yang cerdas,”katanya.
Diakhir sambutannya, Ridwan kembali mengingatkan para anggota PERHAPI untuk selalu menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar. “Sesungguhnya kita menterjemahkan ini sebagai revolusi mental di industri pertambangan karena kita sadar bahwa kita sering dimusuhi publik karena dinilai tidak ramah lingkungan, merusak, menjual tanah dan air dan lainnya. Kemudian masalah sosial juga perlu mendapat perhatian agar Industri pertambangan membawa manfaat yang sebesar-besar dan terasa signifikant oleh masyarakat lokal,”ungkapnya.
Diakhir sambutannya, Dirjen meminta PERHAPI untuk memperhatikan peningkatan kualitas SDM di sektor pertambangan. “Bagi saya kalau tidak jadi jagoan di Industri IT, orang masih maklumi karena memang susah. Belum bisa ke bulan juga orang masih maklumi karena memang susah pergi ke bulan. Tetapi kalau di industri pertambangan, tidak jagoan juga maka itu keterlaluan. Jadi teman-teman PERHAPI masih kita upayakan agar orang-orang muda kita diberi kesempatan yang lebih luas dan lebih baik. Mari kita carikan bea siswa agar mereka sekolah setinggi mungkin sehingga semakin lama industri pertambangan ini makin membawa manfaat yang sebesar-besarnya,”pungkas Ridwan.