JAUH sebelum beroperasinya produsen emas raksasa di Papua, PT Freeport Indonesia, sebuah tambang emas pernah meraih rejeki di Desa Salida, kini dikenal sebagai desa Salido Ketek, di pesisir selatan Sumatera Barat. Daratan berbukit dan pemandangan laut kepas laut yang bening, menjadi daya tarik yang tak kunjung sirna.
Di desa Salido Ketek, terdapat bangunan berupa 150 anak tangga yang terbuat dari batu alam menuju perbukitan. Juga terdapat terowongan sepanjang 300 meter dan benteng peninggalan Belanda.
Media terbitan Belanda, AND Magazine terbitan Ke-8 tahun 2010 menyebutkan, seorang ahli pernaskahan bernama Suryadi Sunuri yang kini menetap di Belanda menceritakan, Belanda pernah menambang emas di Desa Salido Ketek.
Hal ini dia ungkap berdasar buku karya Willem Johan Adriaan de Leeuw berjudul “Her Painansch Contract” (Perjanjijian Painan), terbitan Amsterdam:H.J. Paris, pada 1926. Disebutkan, bangsa Eropa teah mendengar adanya wilayah penghasil emas dari pelaut-pelaut Arab dan China yang pernah singgah di desa Salido Ketek, untuk berdagang hasil bumi.
Penyair Portugis, Luis vaz de Camoes (1524-1580) menulis buku epik puisi berjudul Os Lusiadas, terbitan 1572, tiga tahun setelah kembali dari perantauannya ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Epik puisi ini banyak bertutur tentang kepahlawanan pelaut Portugis. Luis tidak hanya bertutur soal rempah-rempah, melainkan juga perdagangan emas di Salido, yang membuat saudagar Belanda datang.
Dengan bendera Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC), pedagang asal Belanda menyambangi Desa Salido Ketek. Berbagai upaya dilakukan pejabat-pejabat VOC untuk ‘merayu’ raja-raja yang menguasai wilayah kandungan emas.
Di Mei 1662, akhirnya Belanda berhasil menguasai Desa Salido Ketek melalui “Perjanjian Painan” untuk berdagang di pantai barat Sumatera. Perlahan, VOC membangun infrastruktur berupa benteng di Pulau Cingkuk, untuk menumpuk komoditi perdagangan sekaligus sebagai benteng pertahanan, sebagai penunjang kegiatan dagangnya di Sumatera Barat.
Semasa dipimpin Commandeur Jacob Joriszoon Pit (1557 – 23 Mei 1678), VOC mengeksplorasi pertambangan emas di Desa Salido Ketek, di bawah perintah seorang pejabat tinggi VOC di Amsterdam.
VOC mengirimkan dua geologisnya yakni, Nicola Frederich Fisher dan Johan de Graf untuk meneliti kandungan emas. Mereka berdua mengatakan, di desa Salido Ketek terdapat potensi emas yang besar.
VOC pun segera mendatangkan budak-budak yang dibawa dari Madagaskar, juga tawanan perang dari daerah sekitarnya, termasuk dari Pulau Nias, untuk membangun infrastruktur dan menambang.
Budak-budak tersebut mulai mengeksploitasi kandungan emas pada 1669. Ada 49 orang Eropa yang bekerja di tambang itu dengan gaji hanya f 12 sebulan, sebanyak 104 orang budak lelaki serta 28 budak perempuan bekerja tanpa gaji.
Johan Wilhelm Vogel, seorang insinyur asal Jerman yang bekerja di tambang Salido Ketek menceritakan pengalamannya di buku Zeven Jahrige Ost-Indianische reise-Beschreibung (Tujuh Tahun Perjalanan di Hindia Timur). Altenburg:J.L. Richter, 1707. Ia menulis, penambangan pertama di Salido Ketek hasilnya kurang menggembirakan. Terjadi penggunaan uang yang boros dan kacaunya administrasi.
Walau demikian, VOC tetap melanjutkan kegiatan penambangan dengan mengirimkan tambahan ahli bebatuan gunung, yakni Benjamin Olitzsch dan seorang asisten bernama Elias Hesse dalam bukunya, Gold-Bewerke in Sumatera (1931), melaporkan antara 9 November 1860 sampai 16 Juni 1681, sebanyak 32 dari 262 buruh di tambang Salido meninggal.
Karena terus merugi, tambang emas di Desa Salido Ketek dihentikan. Pada 1724 tambang kembali dimulai, dipimpin ahli asal Jerman bernama Mettenus, dengan asistennya bernama Weinberg. Namun tetap rugi. Tambang pun ditutup untuk kedua kalinya.
VOC kembali mencari peruntungan. Pada 1732 kegiatan tambang kembali dibuka, kali ini dipimpin ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang itu ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru sepanjang 300 meter. hasil tambang dilaporkan meningkat, rata-rata per ton batu tambang mengandung bijih emas senilai f 1.350.
Berdasarkan studi R.J Verbeek, yang ditulis di 1880, tambang Salido Ketek menghasilkan 800 ton bijih emas antara 1669 hingga 1735, dengan nilai f 1.200.000 atau rata-rata f 1.500 per ton. Tergiur dengan hasil penambangan, sebuah perusahaan dari Rotterdam, Girobank, ikut menambang di bawah pimpinan Kriekhaus.
Namun terus merugi. Kriekhaus mencoba tetap bertahan sambil mencari metode dan teknologi baru, untuk meningkatkan hasil tambang Salido Ketek.
Beberapa tahun kemudian, Tambang Salido masih beroperasi di bawah pimpinan Ir. De Greve. Karena merugi terus, tambang Salido akhinrya ditutup pada tahun 1928. Hingga kini, bekas kegiatan penambangan masih berdiri di Desa Salido Ketek dan menjadi tujuan wisata. (Sumber: Majalah TAMBANG/Edisi 96 Juni 2013)