Jakarta-TAMBANG. Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan nasib PT Freeport Indonesia pasca berakhirnya kontrak karya di 2021 ketika rapat dengar pendapat dengan Direktur Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dewi Yasin Limpo dari Fraksi Hanura mengatakan ketika ia melakukan kunjungan kerja ke Papua, masyarakat Papua mengharapkan jangan perpanjang kontrak apabila Freeport tidak membangun smelter di tanah Papua.
Dewi menyebut, Freeport sudah diberi kemudahan oleh pemerintah untuk bisa melakukan ekspor konsentrat tembaga. Padahal ada jenis mineral olahan lain seperti bauksit yang tidak bisa melakukan ekspor sejak 2014 kemarin yang membuat sejumlah pelaku usaha bauksit terpaksa menutup usahanya akibat kebijakan larangan ekspor tersebut.
“Kami melihat ada diskrimasi perlakuan terhadap satu jenis mineral dengan mineral lain,” ujarnya, Kamis kemarin.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R. Sukhyar, mengatakan pemerintah pusat sangat memperhatikan permintaan rakyat Papua untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) konsentrat tembaga.
Namun, Sukhyar menegaskan pembangunan smelter di Papua bukan menjadi alasan bagi pemerintah untuk memperpanjang izin pengelolaan Freeport pasca-berakhirnya kontrak karya pada 2021.
“Nantinya pembangunan smelter di Papua itu akan dimasukkan ke dalam draft amendemen kontrak karya Freeport. Pembangunan smelter ini merupakan hal yang berbeda dengan perpanjangan izin operasi pasca-2021,” kata Sukhyar.
Sukhyar menuturkan pembangunan smelter di Papua tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, sejumlah syarat harus diperhatikan, misalnya ketersediaan infrastruktur, pasokan listrik, dan industri asam sulfat yang menampung sisa produksi smelter.
“Jadi, dalam draft amandemen itu hanya menyebutkan kewajiban membangun smelter saja. Tidak ada batas waktu,” ujarnya.