TAK banyak yang tahu bahwa pucuk emas di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, berasal dari Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Bongkah emas itu dibawa oleh seorang pengusaha terkemuka asal Aceh bernama Teuku Markam di era Presiden Soekarno, sebagai bagian dari proyek pembangunan Monas pada 1959 silam.
Desa Lebong Tandai pernah menjadi kawasan primadona di wilayah Nusantara. Jauh sebelum perusahaan tambang emas Freeport berkuasa, harumnya komoditas emas sudah tercium lebih dahulu dari wilayah barat Indonesia itu.
Pemerintah kolonial Belanda menyadari betul potensi alam ini, meskipun Lebong Tandai berada di pedalaman dan sulit dijangkau. Tak salah bila Lebong Tandai dijuluki sebagai Batavia Kecil, karena posisinya yang amat penting dalam menunjang perekonomian pemerintah kolonial.
Jauh sebelum Belanda datang, masyarakat sekitar sudah mengenal Lebong Tandai sebagai Svarnadwipa atau Pulau Emas. Wilayah ini menjadi lebih kesohor lantaran Alex L. ter Braake, penulis buku Mining in the Netherlands East Indies (1944), menuliskan bahwa pada tahun 1910, sebuah perusahaan tambang emas asal Belanda, Mijnbouw Maatschappij Simau, memutuskan untuk mengelola tempat itu menjadi area operasional.
Di tahun itu pula, perusahaan yang baru berumur sembilan tahun tersebut membuat terowongan dan rel kereta sebagai bagian dari konstruksi pertambangan. Mereka menjadi perusahaan pertama yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran di nusantara.
Rata-rata setiap tahun tambang emas Lebong Tandai menghasilkan 1 ton emas. Pada 1937, misalnya, produksi emas Lebong Tandai mencapai 1.095.538 gram.
Periode 1900-1940 menjadi masa keemasan tambang ini, karena mampu memproduksi 72 persen dari semua emas Netherlands East Indies yang totalnya mencapai 123 ton. Secara keseluruhan, ada tiga lokasi emas yang mereka kelola yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Emas dari Lebong Tandai terkenal dengan sebutan emas si molek, karena alat pengangkut emas atau lori di Lebong Tandai dinamai si molek. Kereta angkut ini berjalan di atas rel sekitar 33,5 km menuju tambang.
Penggunaan lori diperlukan karena jalur ini sangat rawan longsor. Jalur ini diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Sehingga memerlukan alat angkut yang dinilai tepat dan aman, tempat pengolahannya pun masih sederhana. Para penambang menggunakan gelundung yang berbentuk silinder, panjang diameternya mencapai 30 cm dan terbuat dari pelat baja.
Lebong Tandai adalah kota kecil yang mewah untuk ukuran zaman itu. Mijnbouw Maatschaappij Simau membangun beberapa fasilitas seperti lapangan tenis, lapangan basket, rumah sakit, rumah bola (billiard), hingga rumah bordil yang popular dengan sebutan rumah kuning.
Pembangunan fasilitas rumah bordil bahkan ditiru oleh PT Lusang Mining, perusahaan asal Australia yang menguasai wilayah ini pada tahun 1980-an, agar para pekerja tak mengajak keluarga tinggal di mess karyawan.
Pada zaman Belanda, segala fasilitas ini sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang yang kebanyakan didatangkan dari Jawa, sekaligus para petinggi dan pasukan keamanan Belanda.
Tak hanya itu, pemerintah Belanda juga kerap mendatangkan penari ronggeng dari Jawa sebagai hiburan. Hal ini dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II.
Tambang emas ini juga sempat dikuasai Jepang pada 1943 hingga 1945 ketika negeri Matahari Terbit itu, mendarat di Tanah Air sebelum akhirnya diambil alih pemerintah baru Indonesia.
Kini, bukti masa kejayaan emas Lebong Tandai berdiri megah di pucuk Monas. (Sumber: Majalah TAMBANG edisi 103/Januari 2014)