Jakarta, TAMBANG – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendalami kebijakan larangan ekspor timah. Jika tidak ada aral melintang, larangan tersebut akan disahkan pada Juni tahun ini sesuai UU No 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin menyebut kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari produk timah yang lebih hilir lagi seperti tin solder, tin chemical dan tin plate.
“Penggunaan logam timah memang bermacam-macam, mulai dari tin chemical, tins plate dan tin solder dan lain-lain. Inilah yang menurut hemat kami yang dimaskud hilirisasi, mengubah dari balok timah yang saat ini kita ekspor menjadi produk-produk ini,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR, dikutip Jumat (3/1).
Menurut Ridwan, jika ingot timah diekstrak lagi menjadi produk-produk tersebut maka akan ada nilai keekonomian lebih yang diterima negara. Menurutnya, tin solder memiliki 1,1 kali lipat nilai tambah dibanding dengan ekspor balok timah, tin chemical 1,75 kali lipat dan tin plate 1,5 kali lipat.
“Arah umum yang kami terima saat ini adalah kita arahkan ke arah yang lebih kanan lagi menjadi produk-produk manufaktur di mana untuk menjadi tin solder nilai tambah dibandingkan logam timah itu 1,1 kali lipat, tin chemical 1,75 kali lipat dan tin plate menjadi 1,5 lipat. Ini adalah angka-angka umum yang kami pegang saat diskusi hilirisasi timah,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, nilai ekonomi yang terdapat pada konsentrat hasil penambangan dengan kandungan Sn 78 persen atau bijih timah mencapai USD 15.500 per ton. Adapun nilai ekonomi dari ekspor balok timah sebesar USD 22.000 per ton Sn.
Saat ini, pemerintah hanya membolehkan ekspor balok timah dengan kandungan 99,99 persen. Sementara bijih timah sudah lama dilarang untuk diekspor.
“Secara umum, balok timah yang kita produksi itu hanya 5 persen yang kita olah lebih hilir di dalam negeri, sisanya kita ekspor berupa balok timah atau tins ingot itu,” ucap Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung ini.
Dia kemudian menjelaskan bahwa untuk membangun pabrik pengolahan ketiga produk turunan timah tadi, setidaknya membutuhkan dua tahun tahap konstruksi. Pembangunan pabrik tin solder, kata dia membutuhkan modal Rp 20 miliar, pabrik pengolahan tin chemical Rp 300 miliar dan tin plate Rp 2,3 triliun.
“Ini hasil kajian Pokja yang kami bentuk, misalnya untuk aspek teknis tins solder Capex-nya atau modal kalau mau mebangun diperlukan kurang lebih 20 miliar rupiah, untuk tins chemical Rp 300 miliar, dan tin plate 2,3 triliun rupiah. Adapun waktu konstrukis yang diperlukan rata-rata 2 tahun,” jelasnya.
Sebelumnya, Anggota Pokja Timah Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jabin Sufianto mengatakan, tidak mudah untuk serta merta melakukan larangan ekspor, sementara pasar domestik tidak dipersiapkan. Di sisi lain membangun industri hilir timah tidak mudah.
Kata Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) tersebut, produk turunan tadi memiliki kandungan timah yang terbilang kecil. Untuk tin chemical, kadungan timah dalam produk tersebut hanya 20%. Demikian juga dengan tin plate yang malah kandungan timah dalam produk tersebut tidak sampai 2%.
“Oleh karenanya jika ingin membangun industri turunan timah, maka harus juga dipastikan pasokan bahan baku selain logam timah,” tandas Jabin dalam diskusi “The 1st Indonesia Minerals Mining Industry Conference-Expo 2022” yang digelar Direktorat Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM, Rabu (30/11/2022).