Beranda ENERGI Migas RUU Migas Sistem Royalti dan Pajak

RUU Migas Sistem Royalti dan Pajak

Jakarta – TAMBANG. Dalam rancangan revisi Undang-Undang Migas yang diajukan pemerintah kepada DPR, terdapat skema kontrak kerjasama baru yang menggunakan sistem royalti dan pajak. Skema kontrak kerja sama tersebut diperuntukkan khusus bagi BUMN migas, yaitu PT Pertamina (Persero).

 

Skema royalti dan pajak itu tidak seperti skema Production Sharing Contract (PSC) yang tidak memakai cost recovery. Skema baru ini ditujukan terutama untuk Wilayah Kerja (WK) yang risikonya rendah dan tak membutuhkan mitra kerja lainnya.

 

“Jadi kalau ada tempat-tempat yang menurut Pertamina bagus, resikonya rendah, tidak perlu sharing contract karena resikonya tidak tinggi, bisa menggunakan tax and royalty,” ungkap Dirjen Migas, IGN Wiratmaja, sebagaimana dikutip situs resmi Ditjen Migas Kementerian ESDM, Rabu (12/8).

 

Skema kontrak kerja sama semacam ini, lanjut Wiratmaja, secara perhitungan akuntansi lebih mudah. Namun untuk daerah atau wilayah kerja yang resikonya tinggi, perusahaan biasanya enggan menggunakan skema ini, karena tidak ada jaminan penggantian biaya operasi dari pemerintah.

 

“Kalau yang resikonya tinggi, biasanya KKKS tidak mau. Mungkin akan diusulkan bentuk PSC,” tambah Dirjen Migas. Apabila usulan skema ini disetujui dalam revisi UU Migas, maka implementasinya baru dapat dilakukan pada penawaran WK migas mendatang. Karena, penawaran tahun ini masih menggunakan landasan hukum Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

 

Sementara itu, untuk mendukung pengembangan gas metana batu bara (CBM), pemerintah mengusulkan penggunaan skema kontrak kerja sama pembagian hasil kotor (Gross Split). Peraturan Menteri ESDM mengenai Gross Split saat ini tengah dalam proses, dan diharapkan pada tahun ini sudah dapat diimplementasikan.

 

Kelemahan sistem PSC yang ada saat ini, dijelaskan Wiratmaja menyulitkan KKKS untuk mengembangkan CBM terkait karakteristiknya yang berbeda dengan migas. Di awal pengeboran, yang keluar terlebih dahulu adalah air, baru kemudian gas. Proses tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun.

 

“Kalau pakai sistem PSC seperti sekarang, berat untuk investornya. Karena, kalau ngebornya sekarang, produksi optimal baru 8 atau 10 tahun kemudian. Karena itu, kontraknya perlu penyesuaian,” pungkas Wiratmaja.