Jakarta, TAMBANG – Pemerintah berencana menaikkan tarif royalti batu bara. Rencana itu akan dimuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Perpajakan, yang kini pembahasannya tengah dimatangkan dengan melibatkan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengatakan, pihaknya belum bisa menyebut berapa besaran kenaikan royalti tersebut. Namun ia memastikan, pungutan royalti bakal dinaikkan secara berjenjang atau progresif mengikuti tren harga pasar batu bara.
“Saya belum dapat menyampaikan angkanya karena belum diputuskan. Namun sesuai dengan harga batu bara pada kondisi tertentu. Jadi tidak berada pada satu angka saja, disesuaikan dengan dinamika pasar juga,” jelas Ridwan, pekan lalu.
Penyesuaian tarif batu bara dalam RPP Perpajakan dicanangkan karena terjadi perubahan status batu bara. Dari yang semula barang bukan kena pajak, sekarang menjadi barang kena pajak. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 atau UU Minerba terbaru juga mengamanatkan untuk dilakukan peningkatan penerimaan negara dari aktivitas penambangan batu bara.
“Secara keseluruhan upaya ini adalah untuk menjamin bahwa penerimaan negara meningkat, karena peningkatan penerimaan negara adalah mandat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020,” tutur Ridwan.
Meski demikian, Ridwan mengklaim bahwa pemerintah tetap akan memperhatikan kepentingan pelaku usaha, sehingga masih dapat menjalankan kegiatan usahanya agar ekonomis. Kenaikan royalti akan menjadi upaya pemerintah dalam mengoptimalisasikan Penerimaan negara Bukan Pajak (PNBP) dengan tetap menjaga iklim usaha dan daya saing.
Untuk diketahui, tarif royalti batu bara yang selama ini diberlakukan bervariasi. Untuk pemegang PKP2B generasi 1, 2, dan 3 sebesar 13.5%. Sedangkan bagi pemegang IUP ada yang sebesar 3%, 5%, dan 7% tergantung dari kualitas batu bara.