Revisi UU Migas dan Penataan Sektor Hilir
oleh: Firlie H Ganinduto (**)
Sudah lebih dari 10 tahun saya berkiprah di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia , terutama yang terkait dengan sektor minyak dan gas (migas). Kebetulan saya pernah dipercaya untuk memimpin tim dalam mengawal rencana revisi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Tugas tersebut kemungkinan besar akan tetap menjadi prioritas karena dalam kepengurusan Kadin yang baru saya mengemban amanat sebagai Ketua Komite Hubungan Kelembagaan dan Regulasi Sektor Migas.
Mengawal revisi UU Migas bukan sesuatu yang mudah. Undang-undang ini beberapa kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial review. Salah satu dampak yang sangat signifikan dari proses tersebut terjadi ketika mahkamah membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) melalui putusannya pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK tersebut berawal dari pengajuan judicial review dari 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas). Mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan Perpres No 95/2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas). Badan ini kemudian berubah menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui Perpres No. 9/2013. Bagi kalangan pengusaha, dengan belum adanya UU Migas yang baru, kedudukan SKK Migas masih belum jelas dan “ilegal”. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan pengelolaan sektor migas di Tanah Air.
Ketidakjelasan eksitensi SKK Migas tersebut merupakan salah satu bentuk karut marut dalam pengelolaan sektor hulu migas. Padahal, persoalan migas tidak hanya di sektor hulu. Permasalahan besar juga terjadi di sektor hilir. Karena itu, Kadin sependapat bahwa kunci atau dasar penyelesaiaan mengurai permasalah energi , khususnya migas, adalah penuntasan revisi UU Migas sesegera mungkin.
Namun, kelihatannya revisi UU Migas menjadi priorotas yang terbelakang, baik dari pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode saat ini. Dalam periode sebelumnya, DPR telah melakukan kajian dan hasilnya “hangus” seiring dengan berakhirnya tugas mereka sehingga harus dilakukan kajian sejak awal lagi. Bisa terlihat bahwa pembahasan revisi UU Migas kembali akan berlarut-larut.
Proses diskusi akan makin panjang setelah diputuskan inisiasi UU migas atau revisinya dilakukan oleh kedua belah pihak antara pemerintah dan DPR. Biasanya, pembahasan UU dilakukan oleh salah satu lembaga, apakah inisiatif dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh DPR. Khusus soal migas inisitif oleh dua belah pihak. Maka, bisa dibayangkan proses yang terjadi, tarik menarik antara kepentingan yang berbeda. Mudah-mudahan Kadin bisa menjembatani memberikan masukan yang komprehensif, dengan memperhatikan kondisi usaha maupun industri migas yang sebenarnya.
Menurut saya, penting juga pemerintah diberikan masukan kondisi yang sebenarnya yang dialami kalangan pengusaha. Sementara DPR perlu diberiakan pengertian bahwa suatu kegiatan industri apalagi bisnis harus didorong oleh komersialitas atau realitas yang terjadi di lapangan. Tidak mungkin industri, termasuk migas, bisa bertumbuh tanpa melihat aspek keuntungannya.
Menyentuh Hilir
Kadin berharap revisi UU Migas bukan hanya meng-cover sektor hulu saja, tetapi juga ada cakupan hingga hilir. Sebelumnya, sekitar 80% muatan UU Migas mengatur sektor hulu saja sehingga kurang fair karena sektor hilir juga persoalannya banyak dan harus diatur dengan baik. Selama ini, Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas yang mengambil role mengatur sektor hilir migas, tetapi dari sisi tata niaganya masih belum baik menyelesaikan permasalah seperti masalah infrastruktur, terutama gas. Pembangunan dan pendayagunaan infrastruktur gas ini perlu diatur dengan detail dan mendalam karena penyediaannya memerlukan modal yang cukup besar.
Bisnis gas memiliki karakteristik yang berbeda. Penentuan harganya di hilir sangat terkait dengan sektor hulu. Harga gas di hulu ditentukan oleh komersialitas atau biaya produksi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) untuk memproduksi gas. Saya melihat tidak ada suatu mekanisme gas pricing policy sampai sekarang. Dalam UU Migas yang berlaku saat ini tidak mengatur masalah split atau bentuk Production Sharing Contract (PSC) tidak diatur dalam Nomor 22 Tahun 2001, tetapi pemerintah mengandopsi PSC dengan split sebesar 85:15.
Itu tidak ditentukan dalam UU sehingga bisa menjadi celah bagi produsen untuk menurunkan harga gas. Contoh sekarang ini 85% hasil produksi migas menjadi milik pemerintah dan 15% untuk KKKS. Jika KKKS bisa dinaikan porsi bagiannya agar harga gasnya turun. Pengurangan ini memang menyebabkan pendapatan negara akan berkurang. Tetapi, kita harus melihat pada UUD 1945 disebutkan kekayaan sumberdaya alam harus dimaksimalkan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam pembangunan, sumberdaya alam konsepnya harus diubah menjadi lokomotif dalam pengembangan ekonomi bukan hanya pendapatan negara. Kalau misalnya sumberdaya alam dijadikan pendapatan, minyak dan gas kecenderungannya akan dieskpor. Inilah yang terjadi di sektor gas dimana LNG yang dihasilkan di dalam negeri untuk memenuhi kebututuhan ekspor. Tetapi kalau gas kita gunakan sebagai lokomotif dalam mendorong perekonomian dalam negeri, yang diuntungkan adalah masyarakat banyak. Peluang kerja terbuka, pembangunan mendorong munculnya multiplier effect, pendapatan pajak naik dan sebagainya.
Selain ketersediaan gas akan terjamin, harga gas juga harus terjangkau oleh industri karena bagai mana pun industri yang menyerap tenaga kerja bukan hanya mencari keuntungan semata. Ada efek pengganda dengan kehadiran industri di suatu daerah. Kalau pemerintah hanya mengejar pendapatan negara dengan menaikan harga gas , akan membuat industri sulit bersaing bahkan mati yang dampaknya juga akan dirasakan oleh masyarakat.
Terkait dengan itu, kita harus memaksimalkan infrastruktur yang sudah tersedia. Mekanisme open accesyang saat ini masih menjadi ganjalan antara PT Pertamina Gas dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakuka. Bahkan, saya berpandangan open acess wajib dan harus dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan infrastruktur gas. Kalau misalnya, infrastrutkur itu dibuat eksklusif seperti saat ini, otomatis berdampak terhadap harga gas yang tetap tinggi karena selain biaya prodyuksi gas masih ditambah toll fee untuk mengembalikan investasi pipa. Apabila fasilitas gas itu di-sharing, sehingga kapasitas infrastuktur meningkat, harga toll fee bisa rendah dan ujungnya harga gas bisa lebih rendah. Kita berharap persoalan energi ini bisa segera diselesaikan sesegera mungkin.
(**)
Ketua Komite Hubungan Kelembagaan dan Regulasi Sektor Migas Kadin Indonesia