Jakarta-TAMBANG. Kementerian Perdagangan optimis dapat mencegah kegiatan ekspor ilegal timah setelah pihaknya merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44/M-DAG/PER/7/2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah dan menerbitkan Permendag Nomor 33/M-DAG/PER/5/2015.
Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel mengatakan selain bertujuan mengendalikan ekspor ilegal timah, revisi Permendag itu juga menunjukkan bahwa Indonesia peduli terhadap masalah lingkungan.
“Kita harus tunjukan ke pasar dunia bahwa kita peduli terhadap lingkungan, sehingga produk yang di ekspor adalah legal,” kata Rachmat saat mengadakan konferensi pers di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (19/5).
Dalam Permendag yang baru, akan ada tiga jenis timah yang boleh diekspor. Pertama, timah murni batangan yang memiliki kamdungan stannum (Sn) paling rendah 99,9%. Kedua, timah solder memiliki kandungan Stannum (Sn) paling tinggi 99,7%. Dan ketiga, barang lainnya dari timahdengan kandungan Stannum (Sn) paling tinggi 96% dalam bentuk pelat, lembaran, strip, foil, pembuluh, pipa, dan lainnya.
“Sebelumnya kan ada empat, diaturan baru ini hanya tiga jenis. Selain itu dilarang ekspor,” jelasnya. Aturan itu, dikatakan Rachmat, berlaku mulai Agustus nanti. Sementara untuk proses Clean and Clear (CnC) diberlakukan pada November.
Bersamaan, Menteri Perindustrian, Saleh Husin menuturkan dengan aturan itu nantinya pemerintah mewajibkan para eksportir timah untuk mendaftarkan perusahaan mereka dalam Eksportir Terdaftar (ET), sehingga asal-usul timah yang akan diekspor dapat diketahui.
“Ekspor akan lebih terkontrol. Sekarang ini kan banyak yang memanfaatkan HS Code, untuk solder itu 3 HS Code, diakalin dan dibuat menjadi asbak dan guci kemudian diekspor. Padahal di sana (negara penerima ekspor) diolah kembali,” katanya yang juga menghadiri konferensi pers tersebut.
Dari data yang ada, menurut Saleh, produksi biji timah pada 2014 sebanyak 96 tibu ton tetapi ketika menjadi logam, volume ekspornya menjadi lebih sedikit. Hal ini menandakan banyak ekspor timah yang keluar secara ilegal.
“Ini bisa ditekan dengan merinci HS Code. Kalau ilegal berkurang, harga timah bisa terangkat dan kita bisa mengontrol harga timah, karena kita merupakan produsen terbesar timah,” tutur Saleh.
Senada, Staf Ahli Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami menuturkan langkah strategik tersebut juga dapat menstabilkan harga timah di pasaran. Menurutnya, sejauh ini timah tidak memiliki subtitusi.
“Salah satu undang-undang Amerika menyebutkan bahwa timah yang berasal dari area konflik tidak bisa dibeli, dan itu menjalar pada timah yang tidak ramah lingkungan,” sebutnya.
Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, pertambangan timah telah merusak 65% hutan di Pulau Bangka dan lebih dari 70% terumbu karang di sana juga rusak. Selain itu, saat ini, terdapat 15 sungai di pulau tersebut terkontaminasi limbah penambangan timah sehingga akses air bersih menjadi masalah bagi lebih dari setengah populasi di Pulau Bangka.