Jakarta, TAMBANG – PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) tengah merampungkan tahap demi tahap proyek pembangunan smelter aluminium di Kalimantan Utara. Direktur ADMR, Wito Krisnahadi mengatakan, tahun ini perseroan fokus pada penyelesaian perizinan, persiapan lahan, dan pondasi konstruksi.
Menurutnya, progres konstruksi fisik akan mulai terlihat signifikan pada tahun depan. Soal target commissioning atau mulai produksi, ADMR memproyeksikan pada tahun 2025 mendatang.
“Tahun ini sebenarnya kita melakukan banyak hal, tapi tidak terlalu kelihatan karena lebih di bawah tanah, seperti fondasi. Justru yang paling kelihatan progres secara fisik saya rasa tahun depan,” bebernya saat dijumpai di Jakarta, Rabu (13/12).
Secara pararel, sambung Wito, ADMR terus bergerilya menjalin kemitraan untuk mengamankan rantai bisnis perseroan saat beroperasi nanti, terutama bekerja sama dengan perusahaan yang ada di Indonesia. Mulai soal pemenuhan pasokan bahan baku alumina, maupun soal kepastian pembeli atau offtaker produk ingot aluminium.
Di sisi hulu, ADMR menjalin kongsi dengan PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA), perusahaan tambang bauksit sekaligus pemegang saham PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), pemilik pabrik pemurnian bauksit menjadi alumina di Kalimantan Barat.
Kongsi ADMR itu terlihat dari komposisi saham perusahaan patungan yang bakal menjadi operator smelter aluminium nanti, yaitu PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI). ADMR pegang saham mayoritas KAI sebesar 65 persen, CITA mengantongi saham sebesar 12,5 persen, dan sisanya digenggam oleh Aumay Mining Pte. Ltd, perusahaan asing berbasis di Singapura.
Sedangkan di sisi hilir, ADMR meneken kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) dengan Hyundai Motor Company, produsen otomotif global yang kini punya pabrik manufaktur untuk kendaraan listrik di Indonesia.
“Kita sudah ada MoU untuk calon-calon pembeli sekitar 80 persen. Bahan bakunya kita ada MOU juga, saya hitung sekitar 80 persen juga,” jelas Wito.
Secara kapasitas produksi, ADMR menargetkan sebesar 500 ribu ton aluminium per tahun pada tahap pertama. Kemudian, kapasitasnya bakal ditingkatkan hingga 1,5 juta ton.
Ada beberapa skema rasio dalam mata rantai produksi aluminium dari hulu hingga hilir. Untuk menghasilkan 1 ton aluminium, umumnya dibutuhkan sekitar 2 ton alumina. Sedangkan tiap ton alumina, membutuhkan bauksit sekitar 5 ton hingga 7 ton, tergantung kadarnya.
Meski ADMR sudah memegang jalur pemasok bahan baku dan pembeli di dalam negeri, namun perseroan masih membuka peluang untuk menjalin mitra dari luar negeri. Artinya, pemenuhan bahan baku bisa dibeli dari impor, dan produk akhirnya dijual untuk ekspor.
“Kita inginnya memfokuskan dari dalam negeri. Tapi semua tergantung banyak hal, kita terbuka juga,” ungkap Wito.
Ke depan, ADMR membidik untuk mengembangkan refinery dari bauksit menjadi alumina. Namun sejauh ini, perseroan akan fokus terlebih dahulu pada pembangunan smelter aluminium.
ADMR lebih memilih bisnis aluminium lantaran kondisi pasokan aluminium global masih mengalami defisit. Hal serupa terjadi juga di Indonesia.
Kata Wito, saat ini kebutuhan aluminium di Indonesia tercatat mencapai 1 juto ton per tahun, sementara pasokan dari dalam negeri hanya mampu sebesar 250 ribu ton. Sisanya dipenuhi dari impor dengan nilai yang fantastis, sehingga berpengaruh terhadap kondisi kekurangan penerimaan negara atau shortfall.
“Untuk kajian, kita mengkaji semua hal. Prospek bauksit menjadi alumina, bahkan juga proses turunan aluminium. Tapi apakah akan kita kerjakan langsung? Enggak. Kita fokus sekarang ini di smelter aluminium, kenapa? Kita melihat shortfall di processing aluminium, yang memang kurang,” pungkasnya.