Jakarta,TAMBANG,- Pembahasan terkait pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) masih tetap menarik. Salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri, pemanfaatan FABA di negara seperti India dan Cina tinggi sekali. Data menyebutkan bahwa India memproduksi FABA 20 kali lebih banyak dari produksi FABA di Indonesia di tahun 2019. Di negara ini tingkat pemanfaatan FABA-nya mencapai 77 persen.
Demikian juga dengan Cina yang di tahun 2015 produksi FABAnya 60 x lebih banyak dari produksi FABA Indonesia. Tingkat pemanfaatan sudah mencapai 70 persen. Demikian juga dengan Australia, Kanada, atau negara-negara Eropa, dan Jepang, USA yang juga sudah sejak lama mamanfaatkan FABA untuk menghasilkan berbagai produk.
Antonius R. Artono, DPP Bidang Diversifikasi Energi, Effensiensi dan K3 dan Lingkungan Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) mengakui India sudah lebih maju dalam pemanfaatan FABA. Termasuk terkait dengan regulasi terkait pemanfaatan FABA.
“Mereka membuat regulasi dalam radius 300 km dari lokasi PLTU. Tidak boleh semen itu dipakai, harus FABA sehingga rasio pemanfaatan FABA presentasinya tinggi sekali,” ungkap Antonius dalam webinar bertajuk “Optimalisasi Pemanfaatan FABA Sumber PLTU untuk Kesejahteraan Masyarakat” pada Rabu (14/4/2021).
Sementara Indonesia sampai sekarang ratio pemanfaatan FABA baru 10 persen. Ini karena sebelumnya FABA masih dikategorikan dalam limbah B3. Sehingga pemanfaatannya secara terbatas dengan proses perizinan yang panjang. “Sangat sedikit sekali pemanfaatannya di luar itu,” kata Anton.
Sementara Agus Puji Prasetyono, anggota Dewan Energi Nasional mengatakan Indonesia menyimpan potensi batubara sangat melimpah. “Batu bara terkenal sebagai pembangkit listrik yang murah, handal dan pasokannya berkelanjutan sehingga membuat produsen memburu batubara untuk bahan baku pembangkit listrik,” sebut Agus.
Selain sebagai bahan baku pembangkit, batu bara juga digunakan sebagai bahan bakar industri dalam bentuk cair dan padat. Sedangkan FABA berasal dari abu batu bara juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Diharapkan pemanfaatan FABA ini akan semakin masif setelah tidak lagi masuk kategori limbah B3.
“Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 yang menetapkan FABA sebagai limbah B3, maka dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, FABA dikeluarkan dari limbah B3,” tandas Agus.
Dari data hasil uji karakteristik terhadap FABA PLTU yang dilakukan oleh KLHK pada tahun 2020 menunjukkan bahwa FABA PLTU masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun. Hasil uji itu menunjukkan bahwa FABA tidak mudah menyala dan tidak mudah meledak pada suhu sekitar 140 derajat Fahrenhet serta tidak ditemukan hasil reaktif terhadap sianida serta tidak ditemukan korosif pada FABA PLTU. Dengan demikian FABA dapat disebut sebagai limbah yang tidak berbahaya dan beracun.
Menurut perhitungan DEN, dari industri pengolah FABA, bisa membantu menciptakan lapangan kerja baru sampai 566.000 orang lebih. Sedang nilai tambah yang bisa dihasilkan mencapai kisaran Rp4,1 triliun per tahun. “Ini potensi ekonomi yang sangat besar dan menjanjikan di tengah kondisi pandemi yang beku berakhir,” tandas Agus.
Sementara Ketua YLKI Tulus Abadi mengusulkan kepada pihak industri khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk memberikan insentif kepada warga terdampak FABA di sekitar PLTU atau industri pengguna batubara lainnya.
“Penggunaan batubara sebagai bahan baku industri atau energi fosil lainnya akan selalu meninggalkan dampak negatif bagi lingkungan. Dampak ini yang harus terus ditekan semaksimal mungkin,” kata Tulus.