Beranda Tambang Today PWYP: Persoalan Freeport Belum Selesai

PWYP: Persoalan Freeport Belum Selesai

Jakarta, TAMBANG – Koalisi Masyarakat Sipil, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengingatkan masih banyak yang harus diselesaikan dan didetailkan menyangkut kepastian pengelolaan sumber daya alam di wilayah Papua, pasca penandatanganan Head of Agreement (HOA) dengan Freeport-Mc.Morant terkait divestasi saham 51 persen.

 

PWYP yang juga mengapresiasi niat baik dan upaya Pemerintah selama 3,5 tahun belakangan untuk menyelesaikan polemik kontrak Freeport menjelang berakhirnya masa kontrak tahun 2021, menjelaskan, proses berikutnya juga harus berjalan transparan dan akuntabel. Sehingga diperlukan konsitensi para pihak dalam memegang kesepakatan, serta diperlukan pertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif termasuk aspek lingkungan, sosial, dan kepentingan masyarakat lokal di Papua.

 

Kesepakatan Belum Selesai

Lebih lanjut, Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengatakan, langkah penandatanganan HOA ini masih menyisakan banyak pertanyaan untuk didalami secara kritis, agar benar-benar memberikan keuntungan bagi bangsa dan masyarakat.

 

Diantaranya, bagaimana metode valuasi/penentuan nilai kepemilikan saham Indonesia pada PT freeport Indonesia (PTFI). Apakah telah tercapai final kesepahaman jumlah dan nilai perhitungan/penafsirannya?

 

“Apakah penandatanganan kesepakatan itu telah final, hingga dapat disebut penguasaan 51 persen saham telah sah?” tutur Maryati dalam keterangan resminya, Jumat (13/7).

 

Lebih lanjut, dengan HoA tersebut, Maryati menilai, tersirat pengelolaan tambang oleh Freeport akan berlanjut hingga 2041. Pertanyaan lanjutan menurutnya, apakah telah tercapai kesepahaman, komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaannya, yang menurut Undang-Undang RI bukan lagi berbentuk Kontrak Karya melainkan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).

 

Artinya, dalam pandangan Maryati, PTFI bukan hanya harus melepaskan 51 persen sahamnya untuk dimiliki Indonesia. Namun perlu ditegaskan, PTFI juga harus menyepakati klausa kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah, bersepakat atas ketentuan fiskal dan perpajakan secara prevailing yang disyaratkan Pemerintah, serta bersedia mematuhi segala ketentuan standar lingkungan dan sosial yang berlaku di yurisdiksi Indonesia.

 

“Jika tidak, maka Pemerintah dapat sewaktu-waktu memberi sanksi bahkan mengakhiri IUPK Freeport,” tukas Maryati.

 

Terkait transparansi dan akuntabilitas, Maryati menegaskan, transparansi merupakan hal krusial agar publik dan segenap pihak mendapatkan informasi yang benar dan seimbang, mengenai keadaan sesungguhnya dari proses yang sedang berlangsung. Sehingga tidak terjadi informasi yang asimetris, yang mana dapat memicu kekeliruan-bahkan polemik publik yang tidak sehat–akibat ketidaktahuan dan kurangnya informasi.

 

“Dokumen dan informasi kesepakatan dan kesepahaman sejatinya dapat ditunjukkan dan dibuka kepada publik, agar tidak terjadi salah tafsir. Misalnya, dari proses HoA kemarin, mengapa bukan isi HoA yang didetailkan – melainkan justru yang beredar siaran pers dari masing-masing pihak, yang satu sama lain bisa saja berbeda sudut penekanan, ” jelas Maryati.

 

Hal senada disampaikan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR). Menurutnya, perjanjian yang ditandatangani baru merupakan HOA, masih banyak hal-hal rinci yang masih akan dirundingkan antara FCX dan Pemerintah Indonesia. Pada dasarnya hasil negosiasi pada Agustus 2017 dan Juli 2018 tidak banyak berubah walaupun pada saat ini, nilai ambil alih kepemilikan telah disepakati sebesar USD3,85 milyar. Tapi perlu diingat bahwa USD3,5 milyar merupakan pembayaran participating interest Rio Tinto di operasi saat ini dan USD350 juta untuk FCX.

 

Dengan fakta ini, pemerintah perlu memberikan klarifikasi atas klaim bahwa Indonesia telah menguasai 51 persen saham PT FI. Publik perlu mencermati tahapan perundingan berikutnya, termasuk pelaksanaan tanggung jawab Freeport untuk mengatasi kerusakan lingkungan dari operasi selama ini.

 

“Jangan sampai beban itu akan menjadi beban yang dialihkan kepada Inalum seiring dengan penguasaan mayoritas saham PT FI,” kata Fabby Tumiwa.

 

Selain itu, pemerintah harus terbuka dan transparan kepada publik terkait penetuan nilai dan pelepasan saham PTFI yang membutuhkan dana sebesar USD3,85 miliar. Sejumlah hal patut untuk mendapatkan sorotan.

 

“Bagaimana rute dan mekanisme valuasi-nya, komponen apa saja yang yang dihitung? Termasuk juga darimana sumber pembiayaan divestasi tersebut? Jangan sampai terjadi over value yang ujungnya justru akan merugikan keuangan negara,”ujar Fabby, yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina PWYP Indonesia.

 

Pertimbangkan Aspek Lingkungan dan Sosial

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP Indonesia, juga mendesak pemerintah untuk terlebih dahulu mengusut enam indikasi pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya PT Freeport tahun 2013-2015. Pertama, mengenai penggunaan kawasan hutan lindung. Kedua, kelebihan pencairan jaminan reklamasi. Ketiga, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan. Keempat, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut. Kelima, hutang kewajiban dana pascatambang. Keenam, penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah.

 

“Sejauh ini masalah-masalah tersebut belum menemui titik terang penyelesaian, padahal BPK telah menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan oleh Freeport jumlahnya sangat fantastis, yakni sebesar Rp185,563 triliun,” kata Aryanto.

 

Persoalan lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yakni penyelesaian 47 pelanggaran lingkungan PTFI dari hasil temuan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) yang meliputi ketidaksesuaian operasi Freeport dengan rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL). Serta PT lFI tidak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan. Termasuk di antara polusi itu adalah limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

 

Sementara itu, Nurkholish Hidayat dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia – LOKATARU mengingatkan, para pihak yang melakukan kesepakatan untuk tidak mengabaikan status dan kondisi para pekerja PT.Freeport Indonesia, khususnya 8400 pekerja yang mogok dan PHK sepihak oleh manajemen karena dianggap mangkir.

 

Nurcholish menyesalkan absennya suara Pemerintah, khususnya Menteri Tenaga Kerja terkait nasib para pekerja yang mogok tersebut.

 

“Perhatian Pemerintah atas kondisi pekerja seharusnya sama besar dengan perhatian terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi’ imbuhnya Nurcholis yang juga menjadi wakil masyarakat sipil di EITI Indonesia,” kata Nurcholis.