Jakarta, TAMBANG – PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) digadang-gadang menjadi pemain kunci di dalam industri baja rendah karbon global. Hal ini diketahui setelah perusahaan berhasil mengakuisisi tambang batu bara antrasit berkadar Ultra High Grade (UHG) milik Atlantic Carbon Group, Inc (ACG) di Amerika Serikat (AS).
“Alhamdulillah tahun ini bertambah, kita sekarang memiliki tambang di Amerika, (tambang batu bara) antrasit,” ungkap Direktur DOID, Dian Andyasuri dalam Workshop Media: Eksplorasi Mendalam Proses Jasa Pertambangan Batu Bara serta Peran Antrasit dalam Masa Depan Rendah Karbon di Jakarta, Rabu (17/7).
Batu bara antrasit merupakan jenis batu bara yang memiliki kandungan karbon paling tinggi hingga mencapai 86-98 persen. Sementara kandungan karbon batu bara lignit 25-35 persen, batu bara sub bituminous 35-45 persen dan batu bara bituminous 45-86 persen.
Kandungan karbon yang tinggi ini menjadikan batu bara antrasit banyak dimanfaatkan untuk memproduksi baja rendah karbon melalui teknologi Electric Arc Furnace (EAF).
Menurut Dian, akuisisi tambang batu bara antrasit yang berlokasi di Pennsylvania tersebut tidak lepas dari visi misi perusahaan untuk menambah sumber daya serta memberikan kontribusi nyata terhadap dunia global dalam hal dekarbonisasi.
“Kami memang visi dan misinya terus bergerak di bidang resources dan terus growing dengan strategi. Ambisi kami sebagai Grup adalah memastikan dari Indonesia bisa mendunia dan memberikan sumbangsih untuk membantu dunia dalam memenuhi resources-nya secara efektif dan efisien,” beber dia.
ACG diketahui merupakan produsen batu bara antrasit UHG terbesar kedua di Amerika Serikat. Saat ini ada 4 tambang aktif yang bisa mendukung lebih dari 25 tahun penambangan.
Proses penuntasan akuisisi sendiri dilakukan pada Juni lalu melalui American Anthracite SPV I, LLC, perusahaan terkendali di bawah naungan PT Bukit Makmur International (BUMA International). Nilai pencaplokan saham baru ini mencapai USD 122,4 juta.
Dengan bergabungnya ACG, pendapatan DOID Grup juga diproyeksikan akan bertambah sebesar USD 120 – 130 juta per tahun dari 2024 hingga 2028. Selain itu, akuisisi ini secara signifikan mendiversifikasi pendapatan Grup, meningkatkan porsi pendapatan dari batu bara non-termal dari 19% pada FY2023 menjadi 28% pada FY2024.
Hal ini sejalan dengan tujuan strategis Grup untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara termal yang menjadi sumber energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Sementara batu bara antrasit banyak dimanfaatkan untuk memproduksi baja rendah karbon sebagai bahan baku pembuatan kendaraan listrik. Baja tersebut digunakan pada motor listrik, bodi dan komponen baterai mobil listrik.
Peneliti di Pusat Penelitian Energi Baru dan Terbarukan dan Purnabakti Guru Besar Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Dwiwahju Sasongko, menyebut produksi besi dan baja di masa depan akan meningkat drastis. Sehingga dibutuhkan batu bara antrasit yang cukup untuk mengurangi jejak emisi karbon yang dihasilkan dari industri tersebut.
“Produksi besi dan baja diperkirakan akan meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang, sehingga dibutuhkan lebih banyak batu bara antrasit,” ungkap pria yang akrab dipanggil Prof Song ini dalam kesempatan yang sama.
Prof Song juga bilang, batu bara antrasit merupakan komoditas yang penting untuk sumber energi, meski harganya relatif lebih mahal dibanding jenis batu bara lain.
“Ini elemen penting untuk membuat baja dan juga untuk energi. Batu bara makin tinggi peringkatnya, makin mahal harganya,” beber dia.
Dalam produksi baja rendah karbon, batu bara antrasit digunakan untuk menyuntikkan kandungan karbon pada EAF dalam proses pembuatan baja. Penggunaan antrasit UHG di EAF ini dapat mengurangi emisi karbon hingga mencapai 74 persen.
Selain EAF, teknologi untuk memproduksi baja adalah Blast Furnaces (BF). Namun, teknologi ini tidak lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan teknologi EAF.
“EAF umumnya memiliki keunggulan signifikan dibandingkan BF dalam hal emisi CO2, terutama bila didukung oleh energi terbarukan. Hal ini membuat EAF lebih menarik untuk operasi yang bertujuan mengurangi jejak karbon dan memenuhi peraturan lingkungan yang lebih ketat,” pungkas Prof Song.
Diketahui, ekspor batu bara antrasit Amerika Serikat telah tumbuh pada CAGR 10,6% dari FY2014 hingga FY2023, dengan EAF mendorong perluasan kapasitas pembuatan baja di masa depan di AS dan Eropa.
Tiongkok, produsen baja terbesar secara global, juga telah mengajukan rencana meningkatkan produksi EAF menjadi 15% dari total produksi baja pada 2025, dengan target untuk meningkatkan proporsi menjadi 20% pada 2030.
Pemerintah di Inggris dan Jerman juga mendorong peralihan dari Blast Furnace ke EAF, yang semakin meningkatkan permintaan untuk antrasit berkualitas tinggi dari ACG.