HONG KONG, TAMBANG. PERUSAHAAN papan atas produsen aluminium di Cina, China Hongqiao Group Limited, kemarin mengumumkan uji coba produksi pabrik alumina miliknya di Kalimantan Barat, sudah dimulai. Kapasitasnya diniatkan mencapai 1 juta ton setahun. Unit produksi tahap kedua, juga dengan kapasitas 1 juta ton, direncanakan selesai pada akhir 2017.
Zhang Bo, Kepala Eksekutif China Hongqiao dalam jumpa persnya di Hong Kong mengatakan, bila seluruh bangunan jadi, total kapasitasnya diharapkan mencapai 4 juta ton setahun. Sebagaimana diberitakan Reuters, Zhang Bo menjelaskan, pihaknya belum memiliki rencana kapan keseluruhan bangunan itu akan diselesaikan. ‘’Semuanya tergantung pada situasi pasar,’’ katanya. Bahan baku bauksitnya dibeli dari tambang lokal milik Harita.
Smelter di Ketapang, Kalimantan Barat itu dibangun bersama oleh Hongqiao dengan mitranya dari Indonesia, Kelompok Harita, dengan nama perusahaan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery. Total investasinya mencapai US$ 1 miliar. Harita memiliki 26 izin usaha pertambangan bauksit di Kalimantan Barat, dengan total deposit mencapai 700 juta ton. Di proyek smelter ini, Harita memiliki 30% saham atas nama PT Cita Mineral Investindo.
Alumina merupakan bahan baku utama untuk membuat aluminium, lembaran logam penting untuk berbagai hal: dari kaleng minuman, jendela, mobil, hingga pesawat terbang.
Untuk produksi di Cina, Hongqiao mengandalkan bauksit impor. Saat ini bauksit diimpor dari Malaysia, India, dan Guinea Afrika. Semula juga ada impor dari Indonesia, yang harus berhenti sejak awal 2014 akibat pelarangan ekspor mineral mentah oleh Pemerintah Indonesia. Di masa mendatang, impor bahan baku dari Malaysia dan India akan berkurang jauh, setelah mulainya ekspor bauksit dari Guinea. Hongqiao pertama kali mengimpor bauksit dari Guinea pada September 2015.
Tahun ini, Hongqiao akan mengimpor 15 juta ton bauksit dari Guinea, dan mencapai 30 juta ton pada 2017. Total impor pada 2016 mencapai 60 juta ton. Tahun lalu, Malaysia merupakan eksportir utama, diikuti Australia dan India.
Pasokan alumina dari Indonesia, dan impor bauksit dari Guiena, akan menopang produksi aluminium Hongqiao di Cina. Tahun lalu Hongqio menghasilkan 4,28 juta ton aluminium, naik 36,8% dibanding tahun sebelumnya.
Tahun lalu, produksi aluminium Hongqiao mencapai 5,186 juta ton, naik 28,8% dibanding tahun sebelumnya.
Zhang berharap, pasar aluminium segera mencapai titik stabil, setelah bertahun-tahun di harga rendah. Dalam upaya mendongkrak harga, induk usaha Hongqiao, Weiqiao Aluminimum & Electricity serta lima produsen aluminium lain membentuk perusahaan patungan untuk mengatur stok.
Kelima perusahaan itu termasuk Aluminium Corp of China (Chinalco), State Power Investment Corporation, Yunnan Aluminium, Jiugang Group, dan Jinjiang Group.
Zhang menjelaskan, Chinalco memiliki 30% di perusahaan itu. Weiqiao dan State Power masing-masing memiliki 20%, sisanya masing-masing memiliki 10%.