Jakarta, TAMBANG – Pemerintah ingin menggenjot target pengolahan mineral di dalam negeri. Target tersebut direalisasikan dengan mewajibkan seluruh eksportir mineral kadar rendah untuk mendirikan pabrik pengolahan atau smelter di tanah air.
Namun, menurut Praktisi Metalurgi Satyagraha Somantri, Pemerintah belum memiliki peta jalan yang matang. Mantan Direktur Perencanaan dan Teknologi PT Krakatau Steel itu, menyinggung soal sengkarut yang terjadi di smelter nikel.
Kata Satya, smelter nikel saat ini dominan mengadopsi dua jenis teknologi, yaitu blast furnace dan rotary kiln electric furnace (RKEF). Di mana keduanya dinilai tidak cocok digunakan di Indonesia.
“Blast furnace itu bahan bakarnya pakai batu bara kokas, Indonesia tidak punya banyak cadangan. Sehingga terkadang harus impor. Saat harga batu bara melambung, mereka tercekik, jadi tidak ekonomis. Lalu RKEF yang butuh energi listrik besar, sementara smelter dibangun mendekat ke area tambang di daerah pedalaman. Jangankan untuk melistriki smelter, warga saja susah dapat listrik di sana. Ini yang bikin kenapa smelter gulung tikar,” ungkapnya dalam forum Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh lembaga konsultan pertambangan SiNU di Jakarta, Jumat (27/12).
Selain nikel, ia juga menyinggung soal pengolahan logam tanah jarang atau rare earth yang sedang dikembangkan oleh PT Timah. Logam tanah jarang baru diketahui belakangan sebagai mineral ikutan yang bernilai tinggi. Sebelumnya, logam tanah jarang hanya ditumpuk menjadi limbah.
“Ini membuktikan bahwa pada saat eksplorasi tidak dilakukan investarisasi menyeluruh soal kandungan mineral yang ada. Yang dilihat hanya timahnya saja,” tutur Satya.
Lebih lanjut, ia membeberkan juga soal sengkarut tumpang tindih kebijakan yang melilit konsesi PT Timah.
Seperti diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta agar tidak ada aktivitas penambangan laut pada zona nol sampai dua mil. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dengan menyiapkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K).
Masalahnya, sebagian besar sumber daya milik PT Timah berada di area laut. Sehingga apabila aturan tersebut diberlakukan, maka sumber daya PT Timah akan terpotong. Dari total konsesi PT Timah seluas 184 ribu hektare, sebanyak 139 ribu hektare terletak di laut Bangka Belitung.
“Kalau sumber daya dipotong, bagaimana mau mengembangkan logam tanah jarang. Mau menambang dari tailling (limbah) ? Saya yakin tidak akan ada yang mau mendanai, karena cadangannya menjadi tidak jelas,” pungkasnya.