Beranda Tambang Today Praktisi: RUU Minerba Belum Cerminkan Kepentingan Nasional

Praktisi: RUU Minerba Belum Cerminkan Kepentingan Nasional

Acara Corner Talk bertema 'Apakah RUU Minerba Untuk Kepentingan Nasional ?' di Jakarta, Kamis (24/5).

Jakarta, TAMBANG – Isi Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) banyak menuai kritik dari para praktisi pertambangan. Pasalnya, beleid yang sedang dibahas di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI itu belum mencerminkan perlindungan terhadap kepentingan nasional.

 

“Hukumnya dibuat dulu tapi tidak dibuat koridor. Hanya dibuat saja, nanti kalau ketahuan cacat ramai-ramai direvisi,” kata Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Tino Andhyanto dalam acara Corner Talk bertema ‘Apakah RUU Minerba Untuk Kepentingan Nasional ?’ di Jakarta, Kamis (24/5).

 

Salah satu contoh yang disampaikan Tino, ialah soal acuan penentuan luas lahan pertambangan. Selama ini, batasan luas lahan beserta cadangannya ditentukan berdasarkan surface atau permukaan tanah. Padahal sebenarnya, dalam kaidah pertambangan, acuan lahan tambang itu bertumpu pada sub surface.

 

Lalu beleid itu juga disinyalir tak berpihak kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tercermin dalam pasal 169 huruf a yang memperbolehkan Kontrak Karya (KK) untuk menuntaskan kontraknya hingga selesai untuk berubah jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

 

Kemudian KK yang berubah jadi IUPK ini, diberi hak memperpanjang izin hingga 20 tahun tanpa memberi kompensasi. Sedangkan posisi BUMN hanya memperoleh sisa lahan dari izin-izin yang bermasalah.

 

“Ada barang milik negara kok cuma ngelanjutin doang. Justru BUMN dapat IUP yang bermasalah,” ungkap Direktur Centre of Indonesian Resources Strategic Studies (Cyrus), Budi Santoso.

 

Secara tersirat, pesan pasal 169 huruf  a tentu berkaitan dengan divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang saat ini sedang diupayakan, oleh Holding BUMN tambang PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum).

 

Dengan beleid tersebut, nantinya Freeport memiliki hak untuk melanjutkan operasinya dan divestasi berpotensi semakin mundur.

 

Padahal, sebelumnya Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.25/2018 yang mengamahkan agar divestasi selesai paling lambat pada tahun 2019.

 

Lebih lanjut, Praktisi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Iwan Munajat menyoroti soal kegiatan eksplorasi yang tidak diakomodir dalam beleid tersebut. Padahal, seluruh aktifitas pertambangan dimulai dari eksplorasi.

 

“Dari sisi eksplorasi. Yang dilihat UU itu royalti, pembagian lahan, itu nothing kalau tidak ada eksplorasi. Eksplorasi adalah awal segalanya. Ini tidak ada yang menyangkut eksplorasi,” pungkasnya