Jakarta, TAMBANG – Skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dinilai dapat memicu liberalisasi sektor ketenagalistrikan. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto.
“Ini adalah liberalisasi kelistrikan. Kenapa saya sebut liberal karena PLN tidak bisa lagi monopoli, karena pembangkit listrik bisa menjual langsung ke pelanggannya, tarifnya kan tergantung mereka, gak tergantung negara,” ujar Mulyanto dalam Diskusi Publik bertema Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET, di Jakarta, Kamis (1/8).
Secara teknis, imbuh Mulyanto, skema Power Wheeling memang fokus pada pemanfaatan jaringan dari pihak ketiga. Hal inilah yang dinilai bisa memicu Independent Power Producer (IPP) bisa langsung menjual listriknya ke konsumen tanpa lewat PLN.
“Jangan terkecoh dengan istilah teknis Power Wheeling. Kalau istilah teknisnya adalah menggunakan jaringan atau nyewa jaringan dari pihak ketiga. Di luar negeri memang begitu, kalau perusahaan di sana kan liberal, bebas,” ucap dia.
“Poin pentingnya adalah pembangkit listrik swasta bisa langsung menjual listrik ke pelanggannya, tanpa negara. Sekarang ini menurut UU, PLN ini adalah single buyer, single seller,” imbuh Mulyanto.
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara. Kata dia, kebijakan Power Wheeling dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2012 tentang kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena merugikan bisnis BUMN.
“Ketentuan Power Wheeling dalam PP No.14/2012 telah melanggar Pasal 33 UUD, serta menyabot hak monopoli dan menggerogoti bisnis BUMN,” ujar Marwan dalam kesempatan yang sama.
Marwan menjelaskan, masuknya skema Power Wheeling ke dalam RUU EBET menjadi pintu masuk kepentingan oligarki yang sarat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Belajar dari praktik telah berlangsung selama ini, pendekatan kekuasaan oligarkis dan diduga sarat KKN telah banyak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara tersebut,” jelasnya.
Menurut dia, skema ini mungkin dapat memberi manfaat bagi kelistrikan Indonesia, terutama guna memenuhi kebutuhan listrik yang tinggi di satu sisi dan kebutuhan investasi di sisi lain. Investor memang perlu diberi insentif. Namun, tidak berarti kebutuhan investasi ini, dan cara memperolehnya dilakukan at any costs.
“Jika skema Power Wheeling adalah salah satu cara meraih minat investor, maka tetap saja ketentuan atau norma yang mengatur penerapannya harus tunduk pada prinsip-prinsip moral, berkeadilan bagi seluruh rakyat, bebas moral hazard, sesuai prinsip GCG, bebas praktik pendekatan kekuasaan otoriter, bebas kepentingan oligarkis, serta tunduk kepada amanat konstitusi dan perintah UU,” ujar Marwan.
Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar menyebut skema ini menjadi pintu masuk kembalinya sistem pengusahaan unbundling yang mengarah kepada privatisasi, kompetisi dan liberalisasi ketenagalistrikan. Keran itu tidak mungkin dimasukkan ke dalam RUU EBET.
“Masalahnya Power Wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBT. Pengaturan Power Wheeling dalam RUU EBT merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan,” beber Bisman.
Bisman juga menyatakan, penerapan Power Wheeling ke dalam RUU EBET berpotensi merugikan negara, memicu kenaikan tarif listrik, penambahan subsidi dalam apbn, serta rawan terhadap ketahanan energi dan pelemahan BUMN.
“Berpotensi menyebabkan kerugian negara, memicu kenaikan tarif listrik dan penambahan subsidi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Berpotensi masuknya oligarki ketenagalistrikan, menyebabkan rawan terhadap ketahanan energi dan melemahkan badan usaha milik negara,” jelasnya.