Jakarta, TAMBANG – Polres Kabupaten Berau, Kalimantan Timur terus mendalami laporan terkait upaya beberapa pihak yang menghalangi kegiatan pertambangan.
“Kami menindaklanjuti pengaduan bahwa ada masyarakat yang menghalangi-halangi kegiatan pertambangan,” terang Kapolres Berau AKBP Pramuja Sigit Wahono kepada Majalah TAMBANG.
Pramuja menjelaskan bahwa pihaknya mendapat laporan pada Jumat, 30 Agustus 2018 tentang adanya aktivitas masyarakat yang mengganggu kegiatan pertambangan. “Kami sedang memproses laporan tersebut karena baru diterima pada Jumat pekan lalu,”tandas Pramuja.
Sementara terkait dugaan pungutan fee bongkar muat, Kapolres AKBP Pramuja Sigit Wahono mengakui bahwa dugaan permintaan bayaran yang mengarah ke pungli (Pungutan piar). “Kami terus mendalami pengaduan dengan menggunakan Undang-undang Minerba. Tapi untuk sementara ini, laporannya adalah menghalangi kegiatan pertambangan,” tambah Pramuja Sigit.
Sebagaimana diketahui, telah terjadi konflik antara Koperasi TKBM dengan Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Baru Bara Indonesia (APBMI) Berau, Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Berau dan KUPP Berau. Konflik tersebut terkait adanya tututan tarif fee dari koperasi TKPBM atas jasa bongkar muat batu bara, yang menggunakan mesin dan tidak menggunakan jasa buruh TKBM.
Rizal Juniar selaku Ketua APBMI Berau ketika dikonfirmasi menjelaskan, bahwa pihaknya taat pada aturan yang berlaku terkait tarif OPP/OPT sektor batu bara pelabuhan Tanjung Redeb 2017. Disebutkan bahwa dalam Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 dan Permenhub 152 Tahun 2016 ditegaskanm bahwa tarif jasa bongkar muat tidak boleh dikenakan, jika tidak ada pelayanan jasa bongkar muat yang diterima.
Rizal juga menambahkan, pengusaha akan menanggung beban biaya bongkar muat berganda jika permintaan koperasi TKBM tersebut dipenuhi. Bongkar muat barang di pelabuhan termasuk batu bara saat ini sudah menggunakan teknologi mesin.
Banyak pembeli lebih memilih menggunakan kapal tipe gearless vessel, dimana pengangkutan batu bara menggunakan mesin khusus yang berbasis teknologi. Tidak lagi menggunakan jasa TKBM. Namun oleh TKBM masih tetap meminta fee bongkar muat.
“Adanya tuntutan koperasi TKBM dimana biaya bongkar muat tenaga orang dipaksa harus dibayar, walaupun tanpa ada jasa diberikan, sehingga pengguna jasa akhirnya membayar dua kali, yakni biaya alat bongkar muat dan upah buruh. Padahal sudah ada aturan yang tegas melarangnya,” terang Rizal.
Sementara Legal Consultant Koperasi TKBM Gofry CH mengaku tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai pungutan liar.
“Kami hanya memperjuangkan hak kami sesuai dengan yang sudah disepakati para pihak sebelumnya. Sampai sekarang kesepakatan itu belum dibatalkan,” terang Gofry.
Ia juga menjelaskan penggunaan floating Crane/floating conveyor yang menyatu dengan kapal masih dikerjakan oleh TKBM. Sementara alat yang terpisah dikerjakan langsung oleh crew/tenaga kerja dari perusahaan pemilik/pengelola Floating.
Namun hal ini dibantah Rizal. Rizal bahkan mengatakan pada November 2017 telah ada kesepakatan dan itu berlaku sampai sekarang. Bahkan kesepakatan tersebut ditandatangani semua pihak termasuk KUPP, GPEI, TKBM dan APBMI yang menyebutkan tidak ada lagi pembayaran 60 persen untuk floating crane.
“Jadi tidak ada dasarnya bagi Koperasi TKBM menagih upah tanpa ada jasa yang diberikan. Itu melanggar hukum,”pungkas Rizal.