Jakarta-TAMBANG. Langkah Golden Spike Energi Indonesia (GSEI) yang memutuskan untuk menyelesaikan kasus hukumnya dengan Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) dinilai akan mengganggu iklim migas nasional. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar mengatakan, jika mengacu pada kontrak yang telah disepakati, semestinya penyelesaian masalah hukum antara dua perusahaan tersebut dapat diselesaikan di pengadilan arbitrase.
Keputusan GSEI yang lebih memilih pengadilan umum, kata Bisman akan berdampak pada iklim migas nasional. Pasalnya menyelesaikan gugatan hukum melalui pengadilan umum akan memakan waktu panjang dan berbelit-belit. Proses seperti inilah yang membuat pelaku industri merasa tidak nyaman dan iklim migas nasional semakin diselimuti oleh ketidakpastian hukum. Padahal kepastian hukum adalah hal yang sangat dibutuhkan investor di Indonesia.
Berbanding terbalik jika diselesaikan lewat jalur arbitrase yang cenderung tidak memakan proses yang panjang. “Pihak PHE memilih arbitrase sedangkan GSEI ke pengadilan, padahal kalau di pengadilan prosesnya panjang sekali. Jikapun sampai MA dimungkinkan ada peninjauan kembali. Itu artinya tidak ada kepastian hukum,” ujar Bisman kepada majalah TAMBANG, Jumat (17/4).
Dalam konteks hukum energi migas, permasalahan seperti ini akan menjadi preseden yang kurang baik dan mengancam produksi lifting nasional. Selain itu iklim investasi di Indonesia juga akan terganggu karena tanpa kasus itu pun, para investor merindukan adanya ketidakpastian hukum.
Bisman menambahkan dalam kasus PHE melawan GSEI, seandainya nanti dimenangkan pihak GSEI, secara tidak langsung akan membuat kerugian besar bagi negara. Sebab uang milik PHE yang menjadi bagian dari BUMN, merupakan uang milik negara. “Walaupun ini masalah antar industri tapi imbasnya ada pada keuangan BUMN sebab nilainya sangat besar, minimal keuangan yang masuk ke kas negara berkurang.”
Ke depan menurutnya, pemerintah harus mampu melakukan intervensi agar kasus gugatan hukum antara industri, terlebih yang melibatkan badan usaha negara bisa diselesaikan dengan kepastian hukum yang jelas. Dalam kasus PHE melawan GSEI, gugatan harus disesaikan di pengadilan arbitrase. Hal tersebut penting untuk menghindari hilangnya aset negara yang dikelola oleh badan hukum seperti Pertamina Hulu Energi.
Pemerintah harus memfasilitasi dan memberi jaminan bahwa sebuah kerja sama bisnis tidak akan jadi problem hukum. Misalkan dengan menerbitkan regulasi tertentu dan mensyaratkan kerja sama yang dibuat harus ditentukan pemerintah. Hal kedua, bila terjadi kasus yang sama, pemerintah harus menjamin bahwa kegiatan operasional di blok migas tidak akan terganggu.
Sebelumnya kuasa hukum PHE RT telah melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial. Majelis hakim diduga kuat telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. M. Yahya Harahap, mantan Hakim Agung yang bertindak selaku kuasa hukum pelapor, dalam perkara sengketa JOB Raja Tempirai, terjadi tindakan pengadilan yang bertentangan dengan perndang-undangan. “Hakim telah melakukan pelanggaran profesionalesme, kejujuran dan kode etik,” ujar Yahya.
Indikasi faktual terjadinya pelanggaran itu di antaranya adalah tindakan tidak profesional dan secara gegabah melanggar ketentuan UU 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Dalam UU tersebut tertulis bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian yang menyepakati klausul arbitrase.