Jakarta,TAMBANG, Trend negative harga batu bara masih berlanjut. Harga Batubara Acuan per Mei kembali melemah diangka USD 81,86 per ton. Padahal di bulan April HBA masih diangka USD 88,85 per ton. Ini berarti terjadi pelemahan USD6,99 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan penurunan HBA ini dipengaruhi kebijakan pembatasan impor batubara di beberapa negara Asia Timur dan Asia Barat khususnya Cina dan India.
“Saat ini Tiongkok hingga India mulai mengurangi suplai batubara mereka dari Indonesia. Mereka melakukan proteksi impor dengan memperbanyak produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan domestiknya,” terang Agung di Jakarta, Selasa (7/5).
Harus diakui trend pelemahan harga batu bara telah terjadi sejak bulan Oktober 2018 silam. Setelah sempat menyentuh angka USD 107, 83 pe ton di Bulang Agustus 2018, harga salah satu sumber energi ini terus mengalami koreksi. Secara berurutan, harga batubara sempat berada di kisaran USD 100,89 per ton pada Oktober 2018. Kemudian, harganya melorot menjadi USD 97,90 per ton pada November dan sebesar USD 92,51 per ton pada Desember 2018.
Penurunan harga pun berlanjut ke tahun 2019 ini. Harga batubara di Januari di USD 92,41 per ton. Kemudian berlanjut di Februari menjadi USD 91,80 per ton. Di Bula Maret harganya kembali turun menjadi USD 90,57 per ton dan bulan lalu menyentuh angka USD 88,85 per ton.
Untuk diketahui, HBA yang dikeluarkan Kementrian ESDM merupakan rata-rata dari beberapa indeks yakni Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platts 5900 pada bulan sebelumnya. Kualitas batu bara disetarakan pada kalori 6322 kcal per kilogram GAR.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pelemahan HBA ini karena index global coal Newcastle yang turun drastis. “ HBA turun lebih karena Globalcoal Newcastle Index yang turun drastis sebagai dampak dari pembatasan impor batu bara dari Australia oleh Cina,”terang Hendra.
Ia pun menilai masih jauh untuk menyebut trend pelemahan ini menuju ke situasi di tahun 2012 silam. “Kalau diliha Indonesia Coal Index malah menguat jadi terlalu dini untuk memprediksi ke arah sana,”tandas Hendra.