Jakarta, TAMBANG – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) mengakui bahwa saat ini, industri pertambangan dihadapkan berbagai tantangan yang berkaitan dengan perubahan situasi geopolitik, baik di tingkat global maupun nasional, serta fluktuasi suplai dan permintaan komoditas yang memengaruhi harga pasar. Termasuk dicemaskan oleh rencana revisi aturan terkait DHE dan revisi Undang-Undang Minerba.
Ketua Umum PERHAPI, Sudirman Widhy Hartono mempertanyakan urgensi revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minral dan Batu Bara. Karena itu PERHAPI berharap Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang tengah menggodok kebijakan ini untuk mengkaji ulang revisi UU tersebut.
“Di dalamnya adanya usulan memberikan perioritas perizinan pada Perguruan Tinggi dan UMKM. Meski baru dalam tahapan pembahasan awal namun PERHAPI menyayangkan munculnya rencana ini. PERHAPI meminta untuk dikaji secara lebih mendalam lagi,” jelas Widhy kepada tambang, dilansir Jumat (24/1).
Hal yang sama juga ditegaskan Wakil Ketua Umum PERHAPI, Resvani. Menurutnya Indonesia saat ini sedang berjalan pada track yang tepat secara khusus terkait industrialisasi.
“Hal yang penting dan harus didorong saat ini adalah industrialisasi yang tidak hanya dari sisi mainstream, seperti dari nikel dihasilkan feronikel kemudian diolah hingga menjadi stainlesteel dan precursor battery. Kita harus berpikir bagaimana ekosistem industri bisa diwujudkan yaitu tumbuhnya industri-industri yang bisa menghasilkan produk-produk yang dibutukan dalam proses industrialisasi,” ucap Resvani.
Resvani menekankan bahwa Indonesia perlu mendefinisikan makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 dengan mengoptimalkan peran sumber daya pertambangan untuk mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, peningkatan indeks pembangunan manusia, penguasaan teknologi, keberlanjutan, serta menjaga pertahanan dan keamanan negara.
BPP PERHAPI Periode 2024-2027 Resmi Dilantik, Siap Majukan Industri Pertambangan Nasional
“Oleh karenanya, dengan kondisi tensi geopolitik dan geoekonomi dan kondisi kekuatan fiscal dalam negeri saat ini, maka strategy industrialisasi yang utuh sangat tepat untuk dilakukan baik dalam membantu membangun ketahanan di sektor pertahanan dan energi melalui pengembangan advance material untuk teknologi alutsista dan EBT termasuk PLTN, serta membantu pertumbuhan GDP dan Fiscal melalui pembangunan ekosistem industri sehingga dapat menopang APBN khususnya anggaran sektor pendidikan, penelitian, kesehatan, UMKM dan sosial kemasyarakatan,” jelas Resvani.
Ia juga menyayangkan adanya kebijakan yang memprioritaskan pemberian IUP kepada organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan UMKM. Menurutnya, sektor-sektor tersebut seharusnya berkembang melalui dukungan kekuatan fiskal negara. Penting untuk melindungi APBN dari potensi kebocoran serta menghindari program-program yang tidak menjadi prioritas atau cenderung sia-sia.
“Mereka harus dibiayayi agar dapat fokus, bukan didorong untuk mencari dana sendiri, terlebih Industri tambang punya karakteristik seperti padat modal, tekonologi tinggi serta beresiko tinggi. Jangan sampai kesalahan-kesalahan di operasional bisa berakibat fatal bagi pelaku sendiri. Oleh karenanya kalau pun harus diketok palu dan kemudian Perguruan Tinggi boleh mengelola pertambangan maka aturannya harus dibuat dan ditegakkan untuk melindungi mereka dengan mitigasi seluruh resiko,” ungkapnya.
Aspek lain yang menurut pandangan Resvani penting terkait revisi UU Minerba ini adalah ketahanan cadangan. Kata dia, pemerintah dan stakeholder pertambangan lebih memperhatikan konservasi cadangan dan eksplorasi demi keberlanjutan industri.
“Saat ini Pemerintah sudah harus memperhatikan aspek konservasi cadangan dan eksplorasi. Kesinambungan pasokan harus tercermin dalam kebijakan yang benar benar dapat menstimulus kegiatan investasi eksplorasi,” pungkas Resvani.