Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) dan pemerintah belum menemukan titik temu kesepakatan, terkait usulan transfer kuota batu bara untuk pemenuhan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) 25 persen.
“Soal skema transfer kuota masih sedang dibahas dengan pemerintah. Pada intinya kami mengusulkan ada suatu payung hukum untuk melaksanakan peran sebagai kustodian transfer kuota,” ujar Direktur APBI, Hendra Sinadia kepada tambang.co.id, Senin (21/5).
Wacana ini bergulir dengan melihat banyaknya perusahaan batu bara, yang belum sanggup memenuhi kewajiban DMO 25 persen. Selain itu, ada juga perusahaan yang tidak berkontrak dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sementara substansi dari kewajiban DMO ialah untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
“Skemanya sebaiknya diatur secara bussines to bussines (B to B),” saran hendra.
Skema ini nanti dilakukan antar sesama perusahan. Teknisnya, perusahaan yang belum bisa menunaikan DMO 25 persen atau tidak berkontrak dengan PLN, bisa membeli kuota milik perusahaan yang sudah mencapai DMO lebih dari 25 persen.
Alasan utama perusahaan batu bara belum bisa menunaikan kewajiban DMO, karena jenis atau tipe batu bara yang dibutuhkan di dalam negeri, tidak sesuai dengan yang diproduksi oleh perusahaan tersebut.
“Banyak perusahaan (anggota APBI) yang belum memasok dan tidak bisa memasok karena speknya tidak sesuai,” sambung Hendra.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 23 K/30/MEM/2018, persentase DMO minimal 25 persen, diwajibkan untuk para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memasuki tahap operasi produksi.
Bagi perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO, akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun depan. Selain itu, pengurangan kuota ekspor akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi.