Jakarta,TAMBANG,-Pemerintah telah mematok target lifting minyak bumi 1 Juta barel pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut tentu bukan langkah mudah apalagi melihat kondisi saat ini. Dimana target lifting minyak bumi pada Asumsi Makro RAPBN 2024 ditetapkan 597-652 ribu BOPD. Ini berarti masih terdapat defisit sekitar 348-403 dari target produksi 1 juta BOPD pada 2030. Oleh karenanya ReforMiner Institute menyampaikan beberapa catatan penting. “Diperlukan kerja keras untuk dapat mencapai target lifting minyak bumi 2030 yang ditetapkan sebesar 1 juta BOPD. Pencapaian target menghadapi kendala penurunan produksi alamiah dan penambahan cadangan migas yang memerlukan effort yang tidak sederhana,”terang Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam siaran pers yang diterima www.tambang.co.id pada Minggu (11/6).
Komaidi menjelaskan bahwa pemerintah terpantau telah melakukan sejumlah upaya terkait target produksi minyak bumi 1 juta BOPD pada 2030, salah satunya menerapkan KBH New Simplified Gross Split untuk menyederhanakan KBH Gross Split yang ada. Lembaga riset ini pun melakukan beberapa review terhadap kebijakan baru tersebut. Berdasarkan review, penyederhanaan dan perbaikan pada New Simplified Gross Split diantaranya meliputi, penyederhanaan jumlah komponen variabel dari sepuluh (10) komponen menjadi tiga (3). Kemudian penyederhanaan jumlah komponen progresif dari tiga (3) komponen menjadi dua (2). Juga base split minyak bumi diubah menjadi 53% untuk pemerintah dan 47% untuk KKKS. Sementara base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51% untuk pemerintah dan 49% untuk KKKS. Dan penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial.
ReforMiner Institute menilai dengan dengan perbaikan tersebut, New Simplified Gross Split berpotensi dapat membuat KBH Gross Split menjadi lebih menarik dibandingkan KBH Gross Split sebelumnya. Namun ada yang masih tetap sama yakni terkait risiko. “Meskipun telah terdapat perbaikan signifikan, satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak dapat diubah serta berbeda secara prinsipil dengan KBH Cost Recovery adalah bahwa dalam KBH New Simplified Gross Split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS. Sementara dalam KBH Cost Recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama antara KKKS dengan negara,”ungkap Komaidi.
Komaidi juga menegaskan bahwa terkait pencapaian target produksi minyak bumi 1 juta BOPD yang lebih diperlukan adalah adanya fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya dan fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu. “Hal tersebut karena beberapa wilayah kerja migas yang menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional dalam kondisi mature seperti diantaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu yang pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk kemudahan fleksibilitas tersebut,”tandasnya.
Oleh karenanya menurut Komaidi, untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi pada WK mature tersebut memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi. Terkait hal tersebut, sharing risiko, sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan.