Beranda Tambang Today Pengamat; Smelter Tembaga Terbesar PTFI Siap Produksi, Pemerintah Wajib Siapkan Industri Domestik

Pengamat; Smelter Tembaga Terbesar PTFI Siap Produksi, Pemerintah Wajib Siapkan Industri Domestik

Jakarta,TAMBANG,- Perpanjangan izin operasi tambang tembaga dan emas PT Freeport Indonesia (PTFI) pasca 2041 sampai sekarang belum jelas. Padahal perusahaan yang saat ini kepemilikan saham mayoritas oleh Pemerintah Indonesia telah memenuhi berbagai kewajiban. PTFI sudah melaksanakan semua kawajibannya ketika mengkonversi Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Syarat menjadi IUPK, seperti menaikan penerimaan  negara, penciutan lahan, penggunaan jasa domestic, divestasi 51 % saham, pembangunan pabrik smelter tembaga dan perpanjangan kontrak.

Dukungan perpanjangan kontrak Freeport pun mengalir pada perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar Indonesia ini. Salah satunya tercetus dalam Focus Group Discussion yang dihadiri Pengamat Tambang Pada Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Ryanda Barma dan Prof Faizal Caniago, Dosen Program Doktoral Universitas Borobudur Pada (24/4) silam.

Ferdy Hasiman yang juga penulis Buku Freeport, Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara mengatakan, Freeport adalah salah salah perusahaan tambang yang mengoperasikan tambang dari hulu sampai hilir. “Di hulu Freeport mengoperasikan tambang open-pit di Grasberg dengan kapasitas produksi 160.000 biji (emas, tembaga dan perak) per hari. Selain itu, Freeport juga menambang di daerah operasi yang sangat sulit dan tak  mungkin bisa dilakukan perusahaan lokal, yaitu, tambang underground (bawah tanah). Tambang underground  ini sangat sulit dan membutuhkan investasi yang sangat besar. Investasinya juga harus jauh-jauh hari. Setelah open-pit selesai, Freeport bertumpu pada underground dan mereka sudah investasi sejak tahun 2002 dan  baru berproduksi komersial tahun  2021. Butuh waktu hampir 20 tahun investasi untuk mulai produksi,” terang Ferdy

Ferdy menjelaskan, selain investasi di underground, Freeport juga sudah membangun pabrik smelter berkapasitas 1,7 juta ton untuk menghasilkan konsentrat tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur. Dana investasinya juga  besar hamper mencapai Rp 30 triliun. Atas dasar itu, tambang Freeport itu disebut tambang terintegrasi hulu sampai hilir.

 “Kalau tambang lain kan hanya di hulu, punya konsensi tambang, lalu dijual  ke pemilik smelter, selain itu juga tambang lain tak sanggup mengoperasikan tambang underground dengan investasi sangat besar. Butuh manajemen seperti Freeport Indonesia untuk mengolah itu dan membutuhkan kepercayaan perbankan untuk memulai investasi. Kepercayaan bank itu butuh manajemen yang  bersih”, kata Ferdy

Ferdy mengatakan, sangatlah beralasan jika manajemen Freeport sekarang ingin meminta perpanjangan kontrak lagi sampai tahun 2061, tetapi ijinnya harus diberikan sekarang, karena menimbang risiko investasi dan kepastian hukum. Menurut Ferdy, data cadangan di bawah tambang underground sekarang mencapai 1,6 miliar ton biji (emas, tembaga dan perak). Cadangan sebesar itu hanya bisa ditambang sampai tahun 2041.

Menurut Ferdy, potensi cadangan di bawah underground jika digali terus lebih dalam masih sangat besar mencapai 2 miliar ton  biji. Dan itu butuh perpanjangan kontrak lagi dari tahun 2041 sampai tahun 2061. Namun, perpanjangan sampai tahun 2061 harus diberikan sekarang karena factor investasi tambang underground yang sangat sulit dan membutuhkan wakut Panjang.

Sementara, Prof Faizal Chaniago mengatakan, secara hukum, perpanjangan kontrak Freeport hanya akan dilakukan dua (2) tahun sebelum masa berakhir kontrak. Artinya, jika mau memperpanjang kontrak sampai tahun 2061, Freeport harus bernegosiasi dengan pemerintah di tahun 2039. Namun, dengan mengingat risiko investasi di tambang underground yang besar dan sekarang Freeport sudah membangun pabrik smelter besar di Gresik, Jawa Timur dan sudah memberikan sahamnya ke pemerintah Indonesia sebesar 51%,permintaan perpanjangan kontrak sangat masuk akal.

“Pembangunan smelter kalua saya tidak salah sangat besar dan multiplier effect bagi  pembangunan nasional sangat besar. Selain itu, pemerintah melalui BUMN dan pemerintah daerah di Papua sudah menguasai 51 persen saham Freeport. Hanya saja, Freeport harus tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat. Perpanjangan kontrak harus sesuai dengan amanat UUD’45, tambang kita harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat”, kata Faisal.

Faisal berpesan agar Freeport memberikan perhatian khusus kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. “Memberikan beasiswa sebanyak mungkin kepada Papua agar kelak mereka bisa mendiri mengolah tambang”

 Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Ryanda Barma mengatakan, pemerintah Indonesia memegang teguh amanat konstitusi UUD’45. Setiap kewajiban melakukan perpanjangan kontrak, termasuk perpanjangan kontrak Freeport Indonesia wajib mengacu pada konstitusi. “Artinya, kesejateraan rakyat nomor satu. Jika itu sudah terpenehi, silahakan,”tandas Ryanda.

Ia pun berharap, Freeport harus tetap memberikan kontribusi besar bagi peningkatan penerimaan negara dan  penerimaan daerah. “Saya melihat daerah-daerah di Papua banyak yang miskin, tolong dikerjasamakan dengan pemerintah agar tambang kaya sekelas Grasberg di Papua benar-benar memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua.

Ryan juga mengatakan, pemerintah yang sangat gencar dengan kebijakan hilirisasi harus siap juga dengan desain industry yang  tepat. “Jangan sampai pabrik smelternya sudah banyak dibangun, Freeport sudah bangun smelter mahal-mahal dengan investasi besar, pembeli dalam negeri tak ada karena pemerintah tak memiliki desain kebijakan industry yang jelas,”tambahnya.

Dalam FGD itu, semua narasumber sepakat bahwa tambang terintegrasi dari hulu sampai hilir seperti Freeport harus dilakukan. Pembangunan smelter wajib dibangun oleh perusahaan tambang, namun pemerintah  harus menyiapkan desain industri untuk masa depan, agar hasil pembangunan pabrik smelter tidak dikirim ke luar lagi.